JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 01)
Sebuah pagi yang indah
untuk awal yang indah pula. Itulah yang diharapkan oleh Wirda. Namun faktanya
kini semua siswa menatapnya sinis. Mungkin penampilannya yang terlihat mewah
makanya mereka menatapnya seperti itu. Akh, tapi tidak juga. Penampilannya sama
saja seperti mereka. Namun ada satu yang membuatnya tampak menawan, yaitu
pesona yang ia pancarkan.
[ Bel Istirahat ]
“Wir,
mau kemana?”Tanya Arif.”mau nyari tempat duduk,”sahut gadis itu sambil membawa
kotak bekal ditangannya.”duduk disini aja,”ucap Arif menawarkan.”oh
yaudah,”Wirda mendudukan dirinya tepat di depan Arif. “kenapa harus bawa bekal?
Kenapa gak coba makanan sini aja?”Tanya Arif berpendapat.
“Gak apa-apa, lebih
suka masakan rumah.”sahut Wirda. “hmm gitu,”. “oya rif, boleh nanya gak?”kali
ini Wirda lah yang mengajukan pertanyaan. “boleh, mau nanya apa?”. “apa sifat
anak-anak jadi berubah semenjak gue masuk ke sekolah ini?”. Arif diam sejenak
kemudian berkata,”eum.. gak juga sih. Sifat mereka emang udah kayak gitu dari
awal,”. “gue kira semenjak kepindahan gue, habisnya tatapan mereka tuh kadang
suka bikin gue gak pede.”ungkap Wirda.”gak pede kenapa?,”tanya Arif bingung.
“ya.. gak pede aja. Takut salah penampilan,”. “gak ada yang salah kok sama
penampilan loe, mereka nya aja yang pada sinis.”. “Btw , kok loe mau temenan
sama gue?”tambah Wirda. “kok nanya nya gitu? Emangnya ada aturan kalo kita
harus temenan sama siapa aja?”kata Arif. Wirda pun menggeleng. “aneh-aneh aja
sih nanya nya,”gumam Arif sambil geleng kepala, sedangkan Wirda hanya
tersenyum.
Sepulang
sekolah Wirda pun mampir ketoko buku langganannya, apalagi kalau bukan untuk
membeli novel favoritnya. Kini yang ia lakukan adalah berpindah tempat dari rak
pertama ke rak berikutnya untuk mencari keberadaan novel itu. Entah ia yang
terlalu serius atau orang disampingnya yang serius, yang jelas saat ini mereka
sama-sama menabrak satu sama lain. “aduh, maaf gak sengaja.”tutur Wirda
menyesalinya. “gak kok, seharusnya gue yang minta maaf. Karna gak sengaja
nabrak loe.”pria itu yang terdengar lembut. Pria berperawakan tinggi, berkulit
putih yang membuatnya kontras dengan rambut berwarna kecoklatan. Wirda sempat
tertegun melihatnya. Bukan karena ketampanan pria itu, tapi karena wajahnya
yang sudah familiar. Setelah diamatinya baik-baik, ternyata benar saja. Ia
memang sudah pernah bertemu dengan pria itu sewaktu diruang kepala sekolah
tadi.
“Ohh
loe murid baru yang tadi pagi diruang kepala sekolah kan?,”tebak Wirda sangat
yakin.”iya, loe juga kan?,”katanya. ”kok bisa kebetulan yah. Oya loe mau cari
buku apa?,”Tanya Wirda antusias. “itu, di depan loe.”jawabnya sambil memberi
isyarat. “hm? Buku ini?”Wirda memastikan. “Iya,”sahutnya sambil mengangguk
kecil. “oh yaudah, ambil aja.”gumam Wirda. “gue kira loe juga mau ngambil buku
itu,”. “tadinya, tapi berhubung bukunya sisa satu. Yaudah buat loe aja,”. “yang
bener?,”Tanya pria itu. “iyaaa beneran.”. “terus loe gimana?,”. “masih ada
buku-buku lain,”sahut Wirda tulus. “okey kalo gitu. Yaudah gue kekasir duluan
yah.” Pamitnya. “Iya,”kata Wirda dan gadis itu pun kembali sibuk mencari buku
lain.
[ Keesokkan Harinya ]
Seperti
biasa, Bu Sarah datang dengan membawa kertas ditangannya. Namun kali ini bukan
lembar soal ulangan, namun lembar hasil ulangan kemarin. “Dengarkan! Sekarang ibu
sudah megang hasil ulangan kalian. Tolong bagiin Zara.”perintah Bu Sarah. Tanpa
disuruh yang kedua kalinya, Zara pun mengambil kertas ulangan dan
membagikannya. “Sindy? Omaygod. Nilai loe mendekati kata sempurna. 90…”Puji
Zara sambil memberikan kertas itu. “kalo gue sih gak heran ngeliat nilai
ulangan loe rif. 95…” ucap Zara memberikan kertas itu.
Dan kertas ulangan
terakhir yang seharusnya diberikan kepada Wirda pun tidak ada. “bu kertas
ulangan Wirda gak ada,”lapor Zara. ”Siapa?Wirda? Ohh iya, kertasnya ada di
ibu,”seru Bu Sarah. “kok dipisahin gitu bu?”Tanya Wina heran. “iyaaa soalnya
nilai ulangan Wirda paling tinggi.”jelas Bu Sarah. “lho, bukannya nilai ulangan
yang paling tinggi itu Arif sama Sindy ya?,”tegas Zara. “ini buktinya,”Bu Sarah
pun menunjukkan kertas ulangan tersebut dan memberikannya kepada Wirda. “Apa?
Seratus?,”ucap Sindy terkejut. Bukan hanya Sindy, tapi Arif dan yang lainnya
juga menatap Wirda tak percaya.”bohong kali tuh bu. Nilai oplosan,”celetuk
Wina.”berapa nilai kamu Wina?”Tanya Bu Sarah. “4,5 lagi bu,”jawabnya malu-malu.
”kalo gitu kamu diam. Gak ada perkembangan sama sekali,”tegas Bu Sarah yang
mampu membuat Wina bungkam seribu bahasa.
[ Jam Istirahat ]
Sejak
awal mereka ke kantin, Arif sama sekali tidak bicara atau bahkan sekedar
menegurnya. Pandangannya terus tertuju pada Wirda yang kini duduk saling
berhadapan dengannya. Wirda yang merasa tak nyaman, sedikit menggeser tempat
duduknya. “rif, kenapa sih loe ngeliatin gue kayak gitu?,” Pertanyaan Wirda
sontak membangunkan Arif dari lamunannya. “hm? Apa Wir?,” bukannya menjawab
Arif justru bertanya balik. “tau akh, kayaknya tingkah loe mulai ngikutin
anak-anak deh. Selalu natap gue gak jelas maksud dan tujuannya.”ketus Wirda
yang dibalas cengiran oleh Arif.
“Gue
cuma gak nyangka aja, kalo ternyata loe itu pintar,”Aku Arif. “biasa aja ah,
lagian loe juga pintear kok,”ucap Wirda ikut mengakuinya. Ditengah asiknya
mereka mengobrol, tiba-tiba saja seorang pria menghampiri mereka. “permisi,
sorry ganggu.”ucap pria itu. “Hei. Ada apa?,”Tanya Wirda sambil tersenyum. Pria
itu melirik kearah Arif kemudian berkata, “bisa ngomong bentar gak?,”. “eum..
emang gak bisa disini aja?,”kata Wirda merasa tak enak jika harus meninggalkan
Arif. “gue mau ngomong berdua,”sahut pria itu. Wirda menghela nafas dan
menghembuskannya perlahan. “yaudah kalo gitu. Oya rif, sorry nih ya gue tinggal
dulu,”pamit Wirda. Arif mengangguk kecil.
[ Taman Belakang Sekolah ]
“Nih,”ucap pria
tersebut sambil mengulurkan sebuah buku yang berjudul ‘Hujan’.
“lho, kenapa bukunya dikasihin ke
gue?,”Tanya Wirda heran. “loe juga mau baca buku ini kan?,”. “Iya, terus
kenapa?,”tanya Wirda yang masih belum paham. “kalo loe mau, loe bisa baca buku
ini tanpa harus beli lagi,”. Wirda mengerutkan keningnya mendengar ucapan pria
itu barusan. “tapi kan loe baru beli buku itu kemaren, emangnya udah kelar
bacanya?,”. “udah kok. Semalem udah gue tuntasin,”jawab pria itu. “hah?
Semaleman? Loe begadang?,”tanya Wirda tak percaya. “gak perlu begadang buat
baca buku kayak gini, lagian halamannya juga tipis kok,”ujarnya. “tipis? Buku
lumayan tebal kayak gini dibilang tipis?, kayaknya nih anak benar-benar
jenius,” batin Wirda. “kenapa bengong? Loe udah gak tertarik yah sama buku
ini?,”.
“Ahh enggak kok, kata
siapa?, yaudah kalo gitu gue pinjem dulu yah buku nya,”. ”Oya… udah sering
banget kita ketemu, tapi belum tau nama satu sama lain. Gue Wirda, loe?,”
sambungnya. “Iya juga. Gue Risky. Oya ngomong-ngomong yang tadi itu siapa?,”.
“yang tadi? Ohh Arif maksud loe? Dia itu teman sekelas gue,”sahut Wirda.
“hmm..,” Risky mengangguk paham. “kayaknya udah mau masuk nih, gue kekelas
duluan yah, makasih bukunya,”pamit Wirda. “iya sama-sama,”balas Risky.
JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 02)
[ Kelas ]
Saat Wirda sampai
dimulut pintu, langkahnya terhenti begitu melihat Pak Amar telah berdiri di
depan meja guru. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kelas. “permisi
pak,”serunya. Mendengar suara Wirda barusan membuat Pak Amar menghentikan
aktivitasnya. “siapa?,”tanya nya sambil membenarkan kacamata untuk memperjelas
penglihatan. “saya Wirda pak, maaf telat,”. “yaudah duduk,”perintahnya. Dengan
berlari kecil Wirda menghampiri kursinya.
“Shut,
abis dari mana aja?,”tanya Arif sedikit berbisik. “ada urusan sedikit,”sahut
Wirda singkat. “Sama anak baru itu?,”tanyanya lagi. “iya,”balas Wirda. “kok
lama banget?,”. “iya gue tau kalo gue lama datengnya. Udah dulu ya ngobrolnya
ntar lagi, nanti Pak Amar marah,”. Meski Arif tak ingin berhenti bertanya,
namun ia tetap menuruti perkataan Wirda. Kini dirinya hanya dapat menghela nafas
sambil menunggu jam pulang untuk melanjutkan pertanyaannya.
“Wirda
tunggu!”panggil Arif menyetop langkahnya.”kenapa rif?,”tanya Wirda. “tadi loe
belom jawab pertanyaan gue. Emangnya loe abis ngapain aja sama anak baru
itu?,”. “gak ngapa-ngapain kok, dia cuma…”. “cuma apa?,”kejar Arif menunggu
kelanjutan ucapan Wirda. “apaan si, kenapa muka loe mendadak serius gitu? Tadi
itu dia cuma kasih pinjem gue buku,”jelas Wirda. Arif menghembuskan nafas lega.
“eh, kok loe malah ngikutin gue sih. Bukannya loe bawa motor?,”tutur Wirda yang
membuat Arif sadar. “Oiya hampir aja lupa. Ikut gue yuk!”ajaknya sambil menarik
tangan Wirda. “ikut?kemana?,”tanyanya heran. “ya pulang lah, loe mau pulang
kan?,”. “i-iya, loe mau nganterin gue?,”. “udah gak usah banyak tanya, nih cepet
pake helmnya,”. Tanpa banyak tanya lagi Wirda pun menuruti perkataan Arif dan
naik kemotornya.
Sesampainya
dihalaman rumah, “makasih ya rif, karna udah mau nganterin gue,”seru Wirda
dengan seulas senyum. “nanti sore, ada waktu luang gak?,”tanya Arif dengan
hati-hati. Wirda tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak sambil
mengingat-ingat. Sepertinya ia mempunyai banyak waktu luang beberapa hari ini.
“kayaknya free. Emangnya kenapa?,”. “gue mau ajak loe jalan-jalan,”sahut Arif.
“cih, jalan-jaalaan… loe pikir gue anak balita apa, pake diajak jalan-jalan
segala,”cercanya. “loe mah bukan balita, tapi LANSIA,”ejek Arif sambil
menghidupkan motornya kemudian berlalu untuk menghindari pukulan maut dari
gadis itu. “enak aja loe. Eh, tunggu. Jangan kabur!” teriak Wirda namun sia-sia
toh pria itu sudah keburu pergi.
Arif
membunyikan klaksonnya agar Wirda mendengar dan segera keluar. Tak perlu
menunggu waktu lama, ia pun muncul dari balik pintu. Wirda, gadis itu
menghampiri kediaman Arif. Pria yang saat ini sedang tertegun menatap kagum
sosok dihadapannya. Gadis itu kini melambaikan tangan tepat di depan wajah Arif
untuk segera menyadarkannya. “rif. Jadi pergi gak nih?,”tanyanya. “hm? I-iya
jadi, yaudah yuk naik!”balasnya gugup.
“Sebenarnya
loe mau ajak gue kemana sih?,”tanya Wirda memecah keheningan. “apa? Sorry gue
budek kalo lagi dimotor,”balasnya. “Aish..,”gerutu gadis itu berdecak kesal.
Sedangkan Arif tersenyum dibalik helmnya. Karna jujur saja, bukannya ia tidak
mendengar pertanyaan Wirda barusan, melainkan ia sendiri tidak tau harus pergi
kemana. “Rif, gimana kalo kita ketoko buku aja?,”tawar Wirda. “apa?,”tanya
Arif. “TOKO BUKU,”ulangnya dengan penekanan disetiap kata. “mau ngapain ketoko
buku?,”. “mau ngambil gaji. Ya mau beli buku lah…”. “gitu aja sewot. Yaudah
kita ketoko buku,”ujar Arif sementara Wirda pun tersenyum senang, bukankah itu
memang tempat favoritnya.
“Gue
tunggu disini aja yah,”kata Arif. “lho kok gitu, kenapa loe gak masuk aja?,”.
“gak usah deh, gue gak biasa masuk ketempat gini-ginian.”. “ah payah loe.
Yaudah bener ya tunggu disini, jangan tinggalin gue…”. “iyyaaa bawel… jangan
lama-lama.”pesan Arif. Gadis itu pun segera memasuki toko buku seperti biasa
untuk membeli buku yang sedang diincarnya. Sesampainya di dalam, tak sengaja ia
berpapasan dengan seorang pria yang tengah memilih-milih buku. “Risky?,”panggil
Wirda yang masih tidak yakin. “Hei. Sama siapa Wir?,”tanya pria itu. “ya
ampun.. lagi-lagi kita ketemu ditempat yang sama. Itu, sama cowok yang berdiri
di luar pintu,”sahutnya sambil menunjuk kearah Arif. “ohh teman sekelas loe?,”.
“iya. Loe nyari buku apa lagi?,” tanya Wirda. “nih,”ditunjukkannya sebuah buku
berjudul ‘. “ohh buku itu. Oya ris, gue boleh minta pendapat loe gak?,”.
“boleh, pendapat apa?,”.
“Eum…
gimana yah ngomongnya. Seandainya nih yah… kalo ada cewek yang suka sama loe,
terus dia mau ngasih sesuatu. Kira-kira loe mau hadiahnya itu berupa apa?,”.
Risky tersentak kaget mendengar pertanyaan Wirda barusan. “eum… apa yah.
Mungkin sebuah buku,”balasnya. “buku yah?,”Wirda memastikan sekali lagi. Risky
pun manggut. “emangnya buat siapa Wir?,”tanya Risky penasaran. “buat… seseorang
yang besok mau ulang tahun,”sahutnya tersenyum riang. Dalam sekejap rona wajah
Risky pun memerah. Hatinya berdebar hebat merasakan degupan jantung yang
memompa darah begitu cepat. Bagaimana ia tidak seperti itu, jelas-jelas kalau
seseorang yang besok akan ulang tahun itu adalah dirinya. Tapi dari mana gadis
itu tau?. “Ris? Risky!”panggil Wirda yang sontak membuyarkan lamunannya. “eh
iya Wir, kenapa?,”tanyanya gugup. “kenapa?harusnya gue yang nanya, loe kenapa
jadi patung kayak gitu?,”. “oh, gak apa-apa kok. Gue cuma bingung aja harus
ngomong apalagi. Kalo gitu selamat ulang tahun deh buat yang besok
ultah,”ucapnya dengan raut wajah gembira. “apaan sih loe. Udah duluin aja.
Ulang tahunnya juga besok,”.
Arif, pria itu sudah
mulai bosan saat ini. Awalnya ia berusaha untuk menelfon gadis itu, namun
begitu melihat ia sedang bersama seorang pria Arif pun mengurungkan niatnya dan
bertekad untuk menghampiri mereka. “teman loe pake kemeja warna merah?,”tanya
Risky menebak. “iya, kok loe tau?,”tanya Wirda. “itu, dia nyamperin
kita,”balasnya. Begitu Wirda menoleh ternyata benar saja, bahkan kini Arif
telah berdiri lurus tepat di belakangnya.
“Arif? Katanya loe gak
mau masuk,”gumam Wirda heran. “masih lama?,”tanyanya dengan nada dingin sambil
menatap kearah Risky. “elo… nanya gue atau Risky?,”tanya Wirda bingung. “masih
lama ngobrol sambil milih-milih bukunya?,”lanjutnya sinis. “eum… sebenarnya…
gue bingung mau beli buku apa,”kata Wirda. “kalo gitu kenapa gak keluar dari
tadi? Kenapa harus buat gue nunggu lama?,”tuturnya yang membuat Wirda heran
kenapa tiba-tiba sikapnya aneh. Memang dasar pria aneh. “udah kan? Gak jadi
beli? Yaudah kalo gitu kita ketempat lain,”ajaknya sambil menarik tangan Wirda.
“Eh, Tunggu dulu. Risky, gue duluan yah,”pamit Wirda yang dibalas anggukan oleh
Risky.
Sepanjang jalan Wirda
terus memutar otaknya untuk mencari jawaban atas perubahan sikap Arif yang
benar-benar aneh. Apa mungkin karna tadi ia menunggu terlalu lama? Tapikan baru
15 menit. Ah entah lah, otaknya benar-benar pusing memikirkan hal itu. Sampai
tepat disebuah caffe, Arif pun menghentikan motornya. “kita mau makan
disini?”tanya Wirda. “kenapa sih loe selalu nanya hal-hal yang udah jelas ada
di depan mata?”balas Arif sinis. “kok loe jadi marah-marah sih?,”. “udah nanya
nya? Sekarang mendingan kita masuk,”usul Arif. Wirda tidak banyak komentar
lagi, yang ia lakukan hanya menurut dan mengikuti langkah pria yang kini
menuntunnya.
“Loe mau pesan
apa?,”tanya Arif membuka buku menu. Wirda yang masih bingung hanya mampu
menjawab seadanya, “air putih,”. Mendengar jawaban Wirda barusan, Arif pun
tertawa. “air putih? Gue ngajak loe jauh-jauh kesini dan loe cuma pesan air
putih? Loe kenapa sih Wir, lagi sakit?”tanyanya. “kok loe sih yang nanya
kenapa? Ada juga gue yang nanya, kenapa tadi loe marah-marah sama gue.. dan
sekarang ketawa-tawa gak jelas?,”pungkas Wirda. “iya sorry sorry… tadi itu gue
cuma lagi laper aja makanya mendadak emosi gue naik. Tapi beneran kok
gue gak kenapa-napa,”jelas Arif dengan seulas senyum tulus yang mengembang
dibibir tipisnya. “yee aneh dasar loe, lain kali kalo loe ngerjain gue kayak
tadi, abis loe sama gue,”ancam gadis itu dengan memasang wajah bete. “ya ampun…
gitu aja ngambek,”ledek Arif. “gara-gara loe gue jadi ninggalin Risky gitu
aja,”. Mendengar nama Risky yang Wirda sebut barusan, dalam sekejap raut wajah
Arif kembali cemberut. “yaudah gak usah kebanyakan ngomongin orang. Sekarang
loe mau makan apa, cepetan gue udah mau pingsan nih belom makan dari pagi,”ujar
Arif. “lebay loe! Yaudah samain aja kayak pesanan loe,”jawab Wirda menyamakan.
“yee kenapa bukan bilang dari tadi.. tau gitu gue gak usah nungguin,”. “ckckck
sorry. Gue lagi laper juga soalnya, makanya agak-agak nggak connect,”.
JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 03)
[
Kelas ]
“Tumben
loe pagi-pagi gini udah dateng?,”kata Wirda yang baru saja sampai sambil
meletakkan tas dimejanya. “semalem gue gak bisa tidur,”sahut Arif dengan wajah
lesu. “gak bisa tidur? emangnya kenapa?,”tanya Wirda penasaran. “gak
apa-apa,”balasnya singkat. “aissshhh,”Wirda berdecak kesal. “oya rif, gue
pinjem buku catetan loe dong,”. “ambil aja sendiri diloker gue,”. Usai mendapat
persetujuan dari pemiliknya Wirda pun bergegas menuju loker. Namun setelah ia
membuka loker itu, matanya membulat sempurna begitu melihat sebuah kotak
persegi empat berwarna biru.
“rif,”panggil Wirda
tanpa menoleh. “ada apa?,”sahutnya malas. “Arifff,”panggil Wirda sekali lagi.
“apaan sih?,”kali ini Arif mulai sewot. “sini, coba liat loker loe!”
perintahnya. “apaan si nih anak, ganggu gue aja!” walaupun malas tapi Arif
tetap menurutinya. “coba loe liat,”ucap Wirda menunjukkan kotak itu kepada
Arif. “kotak apaan nih?kotak amal?,”tanyanya heran. “ihh bukan.. itu kayaknya
hadiah gitu deh,”seru Wirda yakin. “hadiah?,”sahut Arif. “atau jangan-jangan…
dari Secret Admirer loe,”gumam Wirda berpendapat. “masa iya, gue gak pernah
dapet kado kayak gini sebelumnya.”. Tak lama kemudian seorang siswi memasuki
kelas. “Arif, happy birthday yah,”kata siswi itu yang ternyata adalah Sindy.
“loe lagi ultah?,”tanya Wirda terkejut. Sedangkan Arif tidak mengindahkan
pertanyaan Wirda barusan, ia justru kembali ketempat duduknya semula. “rif, gue
nanya serius. Loe beneran ultah hari ini?,”. Arif mendengus kesal. “loe bisa
diam gak! Gue tuh heran banget yah sama loe, kenapa sih loe selalu nanya
hal-hal yang udah jelas kayak gitu?!”. Wirda mengerutkan kening menatap heran
Arif yang kini mulai emosi. “kenapa loe jadi sering marah kayak gini? Apa loe
selalu lapar tiap kali gue nanya sesuatu sama loe?” seru Wirda kemudian
pergi meninggalkan kelas. Sementara Arif hanya mampu menatap punggungnya yang
mulai hilang dibalik pintu.
Wirda yang baru saja
keluar kelas melewati kelasnya Risky, tak sengaja melihat teman-teman
sekelasnya tengah bersorak sorai menyanyikan lagu happy birthday. Karna rasa
penasarannya, Wirda pun melangkah untuk mendekat. “Met ultah ya Risky... sorry
nih kita cuma bisa ngasih ini,”ucap salah satu siswi sambil memberikan sebuah
kue ulang tahun berukuran sedang. “gak apa-apa. Harusnya kalian gak usah
repot-repot kayak gini. Gue jadi gak enak, apalagi gue murid baru disini,”ucap
Risky. “ohh… jadi Risky juga hari ini ulang tahun,”Gumam Wirda dalam hati.
Tanpa sengaja Risky melihat Wirda yang tengah berdiri di depan kelas. Ia pun
beranjak untuk menghampiri.
“Wirda?,”panggil Risky
yang mampu membuatnya terkejut. “loe ngapain berdiri disini? Mendingan sekarang
loe masuk,”. “ah gak usah ris, gue cuma gak sengaja lewat aja kok. Oya ris,
hari ini loe ulang tahun yah?,”tanya Wirda. “iya,”balasnya singkat. “selamat
ulang tahun yah, sorry gue telat ngucapin. Habisnya gue baru tau kalo loe ulang
tahun hari ini juga,”ucap Wirda sedikit menyesal. Mendengar ucapan Wirda yang
mengatakan bahwa ia baru tau soal ulang tahunnya, Risky pun sedikit kecewa.
“Jadi, kado itu bukan
buat gue.”ucapnya dalam hati. “iya gak apa-apa kok. Oya, jadi gimana soal kado
yang kemaren pengen loe kasih keseseorang? Udah diterima sama dia?,”. Wirda
menunduk sambil menggeleng. “gak ris, kayaknya dia gak suka sama kado yang gue
kasih,”sahutnya lesu. “kok bisa? Emangnya dia ngomong apa sama loe?,”Risky
menunggu jawaban dari gadis itu. “buktinya dia gak ngebuka kadonya, yang ada
dia malah marah-marah sama gue,”jelas Wirda dengan senyum pahit dibibirnya.
Risky sedikit mendengus, “udaaahhh gak usah loe pikirin. Mendingan sekarang loe
ikut gue,”ajaknya. “ikut kemana?,”. “kekantin,” sahut pria itu.
Dari beberapa jenis
makanan yang tersedia dimeja kantin, tak ada satupun yang disentuh oleh gadis
itu. “loe lagi gak laper atau gak nafsu makan?,”tanya Risky heran. “gue udah
sarapan tadi waktu dirumah,”. “terus sekarang apa yang harus gue lakuin sama
semua makanan ini?,”. Wirda mencibir, “loe kan kurus… jadi loe harus abisin
semuanya biar agak gemukan.”. Melihat senyum yang mengembang dibibir gadis itu
Risky pun ikut tertawa.
[ Keesokkan Harinya ]
“Ris, bisa ketemuan gak?gue tunggu ditaman
belakang sekolah,”Itulah kata-kata yang dikirimnya lewat pesan. Tanpa
menunggu balasan lagi, gadis itu pun berlari keluar kelas meninggalkan
handphone yang tergeletak di atas meja. Tak lama kepergiannya, ia pun
mendapatkan sebuah pesan masuk . Namun telat, gadis itu kini telah berada di
taman sekolah. Untung ada Arif yang baru saja datang dan langsung mengamankan
handphone itu. Melihat sebuah pesan dihandphone nya, Arif pun membuka pesan
itu. “sorry Wir, hari ini gue dateng
telat.”. Usai membaca pesan tersebut, Arif segera menyusul ketaman sekolah.
Wirda,
gadis yang tengah menunggu kehadiran Risky. Mungkin sudah 10 menit yang lalu,
tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan nya. “loe bodoh yah?,”kata-kata itu
membuatnya terkejut hingga menoleh kebelakang untuk mengetahui siapa orang itu.
“apa maksud loe?,”tanyanya balik begitu mengetahui kalau ternyata orang itu
adalah Arif. Kini pria itu ikut duduk disampingnya. “loe kesini dan ninggalin
handphone dikelas gitu aja, untung gue dateng coba kalo nggak!”. “dari mana loe
tau kalo gue ada disini?,”tanya Wirda sambil merebut handphone nya dari tangan
Arif. “sebaiknya loe kembali kekelas. Karna dia gak akan kesini,”tutur pria itu
tanpa menatap lawan bicaranya. “kenapa tiba-tiba loe jadi ngatur gue? Lagian
gue yakin kok kalo dia pasti dateng.”. “loe tuh keras kepala banget yah. Emangnya
ada perlu apa loe sama dia? Sampe ketemuan disini segala!”ucap Arif ketus.
Wirda tidak menjawab. Arif mendengus kesal, belum sempat ia berkata tiba-tiba
saja matanya menangkap sebuah kotak berukuran sedang ditangan gadis itu. “ohh
gue tau, loe pasti mau ngasihin itu kan ke dia? Buat apa?,”tanya Arif dengan
nada sesantai mungkin.
“kemarin dia ulang
tahun, dan gue belom sempat ngasih dia kado,”sahut Wirda tanpa menatapnya. “loe
sempet-sempetnya nyariin dia kado meskipun ulang tahunnya udah lewat. Sedangkan
ulang tahun gue loe gak inget sama sekali,”bentak Arif. Mendengar kata-kata
yang keluar dari mulut pria itu Wirda pun bangkit berdiri.
“Apa maksud loe gue gak
inget itu semua? Loe pikir kotak warna biru yang kemaren gue taro diloker loe
itu dari siapa, hah?,”geram Wirda yang sengaja meninggikan suaranya. “ma-maksud
loe?,”Arif semakin bingung dengan perkataan gadis itu. “Kemarin gue sengaja
pura-pura minjem buku catatan loe dan manggil loe buat ngeliat langsung isi
kotak itu. Tapi ternyata, apa yang loe lakuin? Loe malah marah-marah gak jelas sama
gue.”. Dalam sekejap ucapan Wirda membuat Arif terpaku bahkan terdiam tanpa
kata. Karna ia pikir Sindy lah yang memberikan kado itu. Secara dialah gadis
yang pertama kali mengucapkan happy birthday kepadanya. “Jadi, yang loe maksud
Secret Admirer itu loe sendiri?,”ucap Arif yang baru saja sadar. Wirda tidak
menjawab sepertinya ia masih belum bisa terima kalau Arif sering membentaknya
selama ini. “jawab Wir, apa benar kalo gadis kotak biru itu elo?,”tanya Arif
memastikan. “gue rasa tindakan gue yang kemarin itu salah. Emang gak seharusnya
gue ngelakuin hal memalukan kayak gitu. Secret Admirer, harusnya bukan itu kata
yang tepat. Tapi ‘Stubborn Girl’. Karna omongan loe benar, kalo gue ini gadis
keras kepala,” itulah kata-kata yang ia lontarkan sebelum pergi meninggalkan
Arif yang bungkam seribu bahasa.
Dikelas
yang masih terlihat sepi, Risky menghampiri Wirda yang tengah menangis. Melihat
kedatangan pria itu, secepat mungkin Wirda menghapus air matanya. “Apa yang
terjadi? Kenapa loe nangis?,”tanya pria itu yang tampak cemas. “loe abis dari
mana aja? Gue nungguin loe dari tadi ditaman sekolah,”ujar Wirda yang
jelas-jelas tengah berbohong. Risky menatap dalam mata gadis itu, mencari
kebenaran disana. “jadi, loe nangis gara-gara kelamaan nungguin gue?,”tanyanya
pelan. “emangnya loe pikir apa?” ujar Wirda. “gue mau minta maaf sama loe,
karna hari ini gue datengnya telat.”. “yaudah lupain. Lagi juga gue gak ada
urusan kok sama loe!”ucap gadis itu membuang muka. “itu ditangan loe
apa?,”tanya Risky sambil menatap kotak yang tengah dipegang Wirda. “i-ini…”
belum sempat Wirda menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja pria itu merebut
kotak tersebut kemudian dibuka, “apa ini kado buat gue?,”. Sebuah buku
bersampul hijau dengan judul ‘Daun yang jatuh tak pernah membenci angin’ dan
juga buku ‘hujan’ yang kemarin ia pinjamkan. Gadis itu mengangguk pelan.
“Thanks
atas kadonya,”tutur Risky kemudian melangkah pergi. Namun belum sampai 5
langkah tiba-tiba saja ia berbalik menatap Wirda, “lain kali jangan pernah pake
nama Secret Admirer. Karna gak semua orang bisa pahamin itu,” itulah kalimat
yang ia ucapkan sebelum akhirnya benar-benar pergi. Wirda, gadis itu sangat
terkejut mengapa Risky bisa tau semuanya. Atau jangan-jangan… dia ada disaat ia
tengah bertengkar dengan Arif?.
[ Keesokkan harinya ]
Arif
sengaja datang lebih pagi hari ini, tentu saja untuk melihat langsung isi kotak
itu. Sebuah kotak berwarna biru, yang sempat membuatnya salah paham. Dibuka nya
perlahan dan sangat berhati-hati. Sebuah jam tangan digital berwarna hitam
coklat yang terlihat menawan. “Jadi ini yang dia lakuin buat gue? Gue gak
nyangka kalo dia benar-benar perduli. Apa tingkah gue selama bikin dia kecewa?
Gue emang bukan cowok yang peka.”rutuknya dalam hati.
Wirda,
gadis itu berjalan menuju kelas. Hingga sampai diambang pintu, langkahnya
terhenti melihat Arif tengah menatapnya intens. Berlagak sok acuh, itulah yang
saat ini Wirda lakukan. Sebisa mungkin ia menahan ekspresinya agar tidak salah
tingkah. Ia berjalan menuju kursi duduknya dan hendak melangkah pergi dengan
meninggalkan tas. Namun tangan kanan Arif mencegahnya. “Jawab dengan jujur. Apa
loe suka sama gue?,” pertanyaan yang Arif lontarkan lebih terdengar seperti
pernyataan. “lepasin tangan loe dari tangan gue,”Seru Wirda terdengar ketus. “gue
mau tau, apa alasan loe ngasih jam tangan ini buat gue?,” dihadapan Wirda, Arif
menunjukkan jam tangan itu.
“Gak
ada alasan buat gue ngejelasin semuanya sama loe,” sahut Wirda. “tentu aja ada.
Setiap orang yang mengagumi orang lain, pasti punya alasan sendiri kenapa dia
bisa mengaguminya.”. Sepertinya saat ini lidahnya kelu, gadis itu masih diam
dengan seribu pertanyaan dikepalanya. “gue cuma mau denger kata-kata itu keluar
dari mulut loe sendiri.” Sambung Arif dengan tatapan memohon. Wirda menghela
nafas kemudian menghembuskannya perlahan. “iya, gue suka sama sifat loe yang
terbuka. Gue suka sama cara loe yang memperlakukan gue seenaknya. Gue suka tiap
kali loe marah-marah gak jelas sama gue, meskipun itu bikin kesal. Gue suka akan
kepintaran loe. Yang jelas, gue gak pernah bisa berenti ngucapin kata suka
terhadap loe.”. “kalo loe emang suka sama gue, tolong jangan datang dan pergi
seenaknya… Karna gue gak mau ada banyak Secret Admirer lagi yang ngejar-ngejar
gue.” Gumam Arif disertai dengan kekehan. “pede banget sih loe jadi orang. Kalo
bukan gue, mana ada cewek lain yang mau sama loe. Emosional kayak gitu,”. “loe
gak tau aja kenapa sikap gue selalu berubah-ubah kayak gitu. Karna gue suka
kesel tiap liat loe dideketin sama anak baru itu.”. “jadi loe cemburu…”ledek
Wirda. “bukan cemburu. Tapi lebih ke khawatir. Karna cewek kayak loe itu gak
banyak didunia ini.”. “maksud loe, gue cewek yang kayak gimana?,”tanya Wirda
mengerutkan dahi. “cewek yang mau aja dimarah-marahin sama orang lain. Wkwkwk”.
Mendengar pengakuan Arif barusan, Wirda pun melayangkan satu pukulan ke
kepalanya. Kini kedua insan itupun kembali dekat seperti sedia kala.
END
Karangan : Sinta Bela
Judul : Jangan Tanya Mengapa
E-mail : S.bela100@yahoo.com
Blog :
Starnightbloggeradreass.blogspot.com

