Translate

Minggu, 09 Oktober 2016

Jangan Tanya Mengapa!


JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 01)

Sebuah pagi yang indah untuk awal yang indah pula. Itulah yang diharapkan oleh Wirda. Namun faktanya kini semua siswa menatapnya sinis. Mungkin penampilannya yang terlihat mewah makanya mereka menatapnya seperti itu. Akh, tapi tidak juga. Penampilannya sama saja seperti mereka. Namun ada satu yang membuatnya tampak menawan, yaitu pesona yang ia pancarkan.

[ Bel Istirahat ]

            “Wir, mau kemana?”Tanya Arif.”mau nyari tempat duduk,”sahut gadis itu sambil membawa kotak bekal ditangannya.”duduk disini aja,”ucap Arif menawarkan.”oh yaudah,”Wirda mendudukan dirinya tepat di depan Arif. “kenapa harus bawa bekal? Kenapa gak coba makanan sini aja?”Tanya Arif berpendapat.

“Gak apa-apa, lebih suka masakan rumah.”sahut Wirda. “hmm gitu,”. “oya rif, boleh nanya gak?”kali ini Wirda lah yang mengajukan pertanyaan. “boleh, mau nanya apa?”. “apa sifat anak-anak jadi berubah semenjak gue masuk ke sekolah ini?”. Arif diam sejenak kemudian berkata,”eum.. gak juga sih. Sifat mereka emang udah kayak gitu dari awal,”. “gue kira semenjak kepindahan gue, habisnya tatapan mereka tuh kadang suka bikin gue gak pede.”ungkap Wirda.”gak pede kenapa?,”tanya Arif bingung. “ya.. gak pede aja. Takut salah penampilan,”. “gak ada yang salah kok sama penampilan loe, mereka nya aja yang pada sinis.”. “Btw , kok loe mau temenan sama gue?”tambah Wirda. “kok nanya nya gitu? Emangnya ada aturan kalo kita harus temenan sama siapa aja?”kata Arif. Wirda pun menggeleng. “aneh-aneh aja sih nanya nya,”gumam Arif sambil geleng kepala, sedangkan Wirda hanya tersenyum.

            Sepulang sekolah Wirda pun mampir ketoko buku langganannya, apalagi kalau bukan untuk membeli novel favoritnya. Kini yang ia lakukan adalah berpindah tempat dari rak pertama ke rak berikutnya untuk mencari keberadaan novel itu. Entah ia yang terlalu serius atau orang disampingnya yang serius, yang jelas saat ini mereka sama-sama menabrak satu sama lain. “aduh, maaf gak sengaja.”tutur Wirda menyesalinya. “gak kok, seharusnya gue yang minta maaf. Karna gak sengaja nabrak loe.”pria itu yang terdengar lembut. Pria berperawakan tinggi, berkulit putih yang membuatnya kontras dengan rambut berwarna kecoklatan. Wirda sempat tertegun melihatnya. Bukan karena ketampanan pria itu, tapi karena wajahnya yang sudah familiar. Setelah diamatinya baik-baik, ternyata benar saja. Ia memang sudah pernah bertemu dengan pria itu sewaktu diruang kepala sekolah tadi.

            “Ohh loe murid baru yang tadi pagi diruang kepala sekolah kan?,”tebak Wirda sangat yakin.”iya, loe juga kan?,”katanya. ”kok bisa kebetulan yah. Oya loe mau cari buku apa?,”Tanya Wirda antusias. “itu, di depan loe.”jawabnya sambil memberi isyarat. “hm? Buku ini?”Wirda memastikan. “Iya,”sahutnya sambil mengangguk kecil. “oh yaudah, ambil aja.”gumam Wirda. “gue kira loe juga mau ngambil buku itu,”. “tadinya, tapi berhubung bukunya sisa satu. Yaudah buat loe aja,”. “yang bener?,”Tanya pria itu. “iyaaa beneran.”. “terus loe gimana?,”. “masih ada buku-buku lain,”sahut Wirda tulus. “okey kalo gitu. Yaudah gue kekasir duluan yah.” Pamitnya. “Iya,”kata Wirda dan gadis itu pun kembali sibuk mencari buku lain.

[ Keesokkan Harinya ]

            Seperti biasa, Bu Sarah datang dengan membawa kertas ditangannya. Namun kali ini bukan lembar soal ulangan, namun lembar hasil ulangan kemarin. “Dengarkan! Sekarang ibu sudah megang hasil ulangan kalian. Tolong bagiin Zara.”perintah Bu Sarah. Tanpa disuruh yang kedua kalinya, Zara pun mengambil kertas ulangan dan membagikannya. “Sindy? Omaygod. Nilai loe mendekati kata sempurna. 90…”Puji Zara sambil memberikan kertas itu. “kalo gue sih gak heran ngeliat nilai ulangan loe rif. 95…” ucap Zara memberikan kertas itu.

 

Dan kertas ulangan terakhir yang seharusnya diberikan kepada Wirda pun tidak ada. “bu kertas ulangan Wirda gak ada,”lapor Zara. ”Siapa?Wirda? Ohh iya, kertasnya ada di ibu,”seru Bu Sarah. “kok dipisahin gitu bu?”Tanya Wina heran. “iyaaa soalnya nilai ulangan Wirda paling tinggi.”jelas Bu Sarah. “lho, bukannya nilai ulangan yang paling tinggi itu Arif sama Sindy ya?,”tegas Zara. “ini buktinya,”Bu Sarah pun menunjukkan kertas ulangan tersebut dan memberikannya kepada Wirda. “Apa? Seratus?,”ucap Sindy terkejut. Bukan hanya Sindy, tapi Arif dan yang lainnya juga menatap Wirda tak percaya.”bohong kali tuh bu. Nilai oplosan,”celetuk Wina.”berapa nilai kamu Wina?”Tanya Bu Sarah. “4,5 lagi bu,”jawabnya malu-malu. ”kalo gitu kamu diam. Gak ada perkembangan sama sekali,”tegas Bu Sarah yang mampu membuat Wina bungkam seribu bahasa.

[ Jam Istirahat ]

            Sejak awal mereka ke kantin, Arif sama sekali tidak bicara atau bahkan sekedar menegurnya. Pandangannya terus tertuju pada Wirda yang kini duduk saling berhadapan dengannya. Wirda yang merasa tak nyaman, sedikit menggeser tempat duduknya. “rif, kenapa sih loe ngeliatin gue kayak gitu?,” Pertanyaan Wirda sontak membangunkan Arif dari lamunannya. “hm? Apa Wir?,” bukannya menjawab Arif justru bertanya balik. “tau akh, kayaknya tingkah loe mulai ngikutin anak-anak deh. Selalu natap gue gak jelas maksud dan tujuannya.”ketus Wirda yang dibalas cengiran oleh Arif.

            “Gue cuma gak nyangka aja, kalo ternyata loe itu pintar,”Aku Arif. “biasa aja ah, lagian loe juga pintear kok,”ucap Wirda ikut mengakuinya. Ditengah asiknya mereka mengobrol, tiba-tiba saja seorang pria menghampiri mereka. “permisi, sorry ganggu.”ucap pria itu. “Hei. Ada apa?,”Tanya Wirda sambil tersenyum. Pria itu melirik kearah Arif kemudian berkata, “bisa ngomong bentar gak?,”. “eum.. emang gak bisa disini aja?,”kata Wirda merasa tak enak jika harus meninggalkan Arif. “gue mau ngomong berdua,”sahut pria itu. Wirda menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. “yaudah kalo gitu. Oya rif, sorry nih ya gue tinggal dulu,”pamit Wirda. Arif mengangguk kecil.

[ Taman Belakang Sekolah ]

“Nih,”ucap pria tersebut sambil mengulurkan sebuah buku yang berjudul ‘Hujan’.

“lho, kenapa bukunya dikasihin ke gue?,”Tanya Wirda heran. “loe juga mau baca buku ini kan?,”. “Iya, terus kenapa?,”tanya Wirda yang masih belum paham. “kalo loe mau, loe bisa baca buku ini tanpa harus beli lagi,”. Wirda mengerutkan keningnya mendengar ucapan pria itu barusan. “tapi kan loe baru beli buku itu kemaren, emangnya udah kelar bacanya?,”. “udah kok. Semalem udah gue tuntasin,”jawab pria itu. “hah? Semaleman? Loe begadang?,”tanya Wirda tak percaya. “gak perlu begadang buat baca buku kayak gini, lagian halamannya juga tipis kok,”ujarnya. “tipis? Buku lumayan tebal kayak gini dibilang tipis?, kayaknya nih anak benar-benar jenius,” batin Wirda. “kenapa bengong? Loe udah gak tertarik yah sama buku ini?,”.

 

“Ahh enggak kok, kata siapa?, yaudah kalo gitu gue pinjem dulu yah buku nya,”. ”Oya… udah sering banget kita ketemu, tapi belum tau nama satu sama lain. Gue Wirda, loe?,” sambungnya. “Iya juga. Gue Risky. Oya ngomong-ngomong yang tadi itu siapa?,”. “yang tadi? Ohh Arif maksud loe? Dia itu teman sekelas gue,”sahut Wirda. “hmm..,” Risky mengangguk paham. “kayaknya udah mau masuk nih, gue kekelas duluan yah, makasih bukunya,”pamit Wirda. “iya sama-sama,”balas Risky.

JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 02)

[ Kelas ]

Saat Wirda sampai dimulut pintu, langkahnya terhenti begitu melihat Pak Amar telah berdiri di depan meja guru. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kelas. “permisi pak,”serunya. Mendengar suara Wirda barusan membuat Pak Amar menghentikan aktivitasnya. “siapa?,”tanya nya sambil membenarkan kacamata untuk memperjelas penglihatan. “saya Wirda pak, maaf telat,”. “yaudah duduk,”perintahnya. Dengan berlari kecil Wirda menghampiri kursinya.

            “Shut, abis dari mana aja?,”tanya Arif sedikit berbisik. “ada urusan sedikit,”sahut Wirda singkat. “Sama anak baru itu?,”tanyanya lagi. “iya,”balas Wirda. “kok lama banget?,”. “iya gue tau kalo gue lama datengnya. Udah dulu ya ngobrolnya ntar lagi, nanti Pak Amar marah,”. Meski Arif tak ingin berhenti bertanya, namun ia tetap menuruti perkataan Wirda. Kini dirinya hanya dapat menghela nafas sambil menunggu jam pulang untuk melanjutkan pertanyaannya.

            “Wirda tunggu!”panggil Arif menyetop langkahnya.”kenapa rif?,”tanya Wirda. “tadi loe belom jawab pertanyaan gue. Emangnya loe abis ngapain aja sama anak baru itu?,”. “gak ngapa-ngapain kok, dia cuma…”. “cuma apa?,”kejar Arif menunggu kelanjutan ucapan Wirda. “apaan si, kenapa muka loe mendadak serius gitu? Tadi itu dia cuma kasih pinjem gue buku,”jelas Wirda. Arif menghembuskan nafas lega. “eh, kok loe malah ngikutin gue sih. Bukannya loe bawa motor?,”tutur Wirda yang membuat Arif sadar. “Oiya hampir aja lupa. Ikut gue yuk!”ajaknya sambil menarik tangan Wirda. “ikut?kemana?,”tanyanya heran. “ya pulang lah, loe mau pulang kan?,”. “i-iya, loe mau nganterin gue?,”. “udah gak usah banyak tanya, nih cepet pake helmnya,”. Tanpa banyak tanya lagi Wirda pun menuruti perkataan Arif dan naik kemotornya.

            Sesampainya dihalaman rumah, “makasih ya rif, karna udah mau nganterin gue,”seru Wirda dengan seulas senyum. “nanti sore, ada waktu luang gak?,”tanya Arif dengan hati-hati. Wirda tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak sambil mengingat-ingat. Sepertinya ia mempunyai banyak waktu luang beberapa hari ini. “kayaknya free. Emangnya kenapa?,”. “gue mau ajak loe jalan-jalan,”sahut Arif. “cih, jalan-jaalaan… loe pikir gue anak balita apa, pake diajak jalan-jalan segala,”cercanya. “loe mah bukan balita, tapi LANSIA,”ejek Arif sambil menghidupkan motornya kemudian berlalu untuk menghindari pukulan maut dari gadis itu. “enak aja loe. Eh, tunggu. Jangan kabur!” teriak Wirda namun sia-sia toh pria itu sudah keburu pergi.

            Arif membunyikan klaksonnya agar Wirda mendengar dan segera keluar. Tak perlu menunggu waktu lama, ia pun muncul dari balik pintu. Wirda, gadis itu menghampiri kediaman Arif. Pria yang saat ini sedang tertegun menatap kagum sosok dihadapannya. Gadis itu kini melambaikan tangan tepat di depan wajah Arif untuk segera menyadarkannya. “rif. Jadi pergi gak nih?,”tanyanya. “hm? I-iya jadi, yaudah yuk naik!”balasnya gugup.

            “Sebenarnya loe mau ajak gue kemana sih?,”tanya Wirda memecah keheningan. “apa? Sorry gue budek kalo lagi dimotor,”balasnya. “Aish..,”gerutu gadis itu berdecak kesal. Sedangkan Arif tersenyum dibalik helmnya. Karna jujur saja, bukannya ia tidak mendengar pertanyaan Wirda barusan, melainkan ia sendiri tidak tau harus pergi kemana. “Rif, gimana kalo kita ketoko buku aja?,”tawar Wirda. “apa?,”tanya Arif. “TOKO BUKU,”ulangnya dengan penekanan disetiap kata. “mau ngapain ketoko buku?,”. “mau ngambil gaji. Ya mau beli buku lah…”. “gitu aja sewot. Yaudah kita ketoko buku,”ujar Arif sementara Wirda pun tersenyum senang, bukankah itu memang tempat favoritnya.

            “Gue tunggu disini aja yah,”kata Arif. “lho kok gitu, kenapa loe gak masuk aja?,”. “gak usah deh, gue gak biasa masuk ketempat gini-ginian.”. “ah payah loe. Yaudah bener ya tunggu disini, jangan tinggalin gue…”. “iyyaaa bawel… jangan lama-lama.”pesan Arif. Gadis itu pun segera memasuki toko buku seperti biasa untuk membeli buku yang sedang diincarnya. Sesampainya di dalam, tak sengaja ia berpapasan dengan seorang pria yang tengah memilih-milih buku. “Risky?,”panggil Wirda yang masih tidak yakin. “Hei. Sama siapa Wir?,”tanya pria itu. “ya ampun.. lagi-lagi kita ketemu ditempat yang sama. Itu, sama cowok yang berdiri di luar pintu,”sahutnya sambil menunjuk kearah Arif. “ohh teman sekelas loe?,”. “iya. Loe nyari buku apa lagi?,” tanya Wirda. “nih,”ditunjukkannya sebuah buku berjudul ‘. “ohh buku itu. Oya ris, gue boleh minta pendapat loe gak?,”. “boleh, pendapat apa?,”.

            “Eum… gimana yah ngomongnya. Seandainya nih yah… kalo ada cewek yang suka sama loe, terus dia mau ngasih sesuatu. Kira-kira loe mau hadiahnya itu berupa apa?,”. Risky tersentak kaget mendengar pertanyaan Wirda barusan. “eum… apa yah. Mungkin sebuah buku,”balasnya. “buku yah?,”Wirda memastikan sekali lagi. Risky pun manggut. “emangnya buat siapa Wir?,”tanya Risky penasaran. “buat… seseorang yang besok mau ulang tahun,”sahutnya tersenyum riang. Dalam sekejap rona wajah Risky pun memerah. Hatinya berdebar hebat merasakan degupan jantung yang memompa darah begitu cepat. Bagaimana ia tidak seperti itu, jelas-jelas kalau seseorang yang besok akan ulang tahun itu adalah dirinya. Tapi dari mana gadis itu tau?. “Ris? Risky!”panggil Wirda yang sontak membuyarkan lamunannya. “eh iya Wir, kenapa?,”tanyanya gugup. “kenapa?harusnya gue yang nanya, loe kenapa jadi patung kayak gitu?,”. “oh, gak apa-apa kok. Gue cuma bingung aja harus ngomong apalagi. Kalo gitu selamat ulang tahun deh buat yang besok ultah,”ucapnya dengan raut wajah gembira. “apaan sih loe. Udah duluin aja. Ulang tahunnya juga besok,”.

Arif, pria itu sudah mulai bosan saat ini. Awalnya ia berusaha untuk menelfon gadis itu, namun begitu melihat ia sedang bersama seorang pria Arif pun mengurungkan niatnya dan bertekad untuk menghampiri mereka. “teman loe pake kemeja warna merah?,”tanya Risky menebak. “iya, kok loe tau?,”tanya Wirda. “itu, dia nyamperin kita,”balasnya. Begitu Wirda menoleh ternyata benar saja, bahkan kini Arif telah berdiri lurus tepat di belakangnya.

“Arif? Katanya loe gak mau masuk,”gumam Wirda heran. “masih lama?,”tanyanya dengan nada dingin sambil menatap kearah Risky. “elo… nanya gue atau Risky?,”tanya Wirda bingung. “masih lama ngobrol sambil milih-milih bukunya?,”lanjutnya sinis. “eum… sebenarnya… gue bingung mau beli buku apa,”kata Wirda. “kalo gitu kenapa gak keluar dari tadi? Kenapa harus buat gue nunggu lama?,”tuturnya yang membuat Wirda heran kenapa tiba-tiba sikapnya aneh. Memang dasar pria aneh. “udah kan? Gak jadi beli? Yaudah kalo gitu kita ketempat lain,”ajaknya sambil menarik tangan Wirda. “Eh, Tunggu dulu. Risky, gue duluan yah,”pamit Wirda yang dibalas anggukan oleh Risky.

Sepanjang jalan Wirda terus memutar otaknya untuk mencari jawaban atas perubahan sikap Arif yang benar-benar aneh. Apa mungkin karna tadi ia menunggu terlalu lama? Tapikan baru 15 menit. Ah entah lah, otaknya benar-benar pusing memikirkan hal itu. Sampai tepat disebuah caffe, Arif pun menghentikan motornya. “kita mau makan disini?”tanya Wirda. “kenapa sih loe selalu nanya hal-hal yang udah jelas ada di depan mata?”balas Arif sinis. “kok loe jadi marah-marah sih?,”. “udah nanya nya? Sekarang mendingan kita masuk,”usul Arif. Wirda tidak banyak komentar lagi, yang ia lakukan hanya menurut dan mengikuti langkah pria yang kini menuntunnya.

“Loe mau pesan apa?,”tanya Arif membuka buku menu. Wirda yang masih bingung hanya mampu menjawab seadanya, “air putih,”. Mendengar jawaban Wirda barusan, Arif pun tertawa. “air putih? Gue ngajak loe jauh-jauh kesini dan loe cuma pesan air putih? Loe kenapa sih Wir, lagi sakit?”tanyanya. “kok loe sih yang nanya kenapa? Ada juga gue yang nanya, kenapa tadi loe marah-marah sama gue.. dan sekarang ketawa-tawa gak jelas?,”pungkas Wirda. “iya sorry sorry… tadi itu gue cuma lagi laper aja makanya mendadak emosi gue naik. Tapi beneran kok gue gak kenapa-napa,”jelas Arif dengan seulas senyum tulus yang mengembang dibibir tipisnya. “yee aneh dasar loe, lain kali kalo loe ngerjain gue kayak tadi, abis loe sama gue,”ancam gadis itu dengan memasang wajah bete. “ya ampun… gitu aja ngambek,”ledek Arif. “gara-gara loe gue jadi ninggalin Risky gitu aja,”. Mendengar nama Risky yang Wirda sebut barusan, dalam sekejap raut wajah Arif kembali cemberut. “yaudah gak usah kebanyakan ngomongin orang. Sekarang loe mau makan apa, cepetan gue udah mau pingsan nih belom makan dari pagi,”ujar Arif. “lebay loe! Yaudah samain aja kayak pesanan loe,”jawab Wirda menyamakan. “yee kenapa bukan bilang dari tadi.. tau gitu gue gak usah nungguin,”. “ckckck sorry. Gue lagi laper juga soalnya, makanya agak-agak nggak connect,”.

 

JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 03)

 [ Kelas ]

            “Tumben loe pagi-pagi gini udah dateng?,”kata Wirda yang baru saja sampai sambil meletakkan tas dimejanya. “semalem gue gak bisa tidur,”sahut Arif dengan wajah lesu. “gak bisa tidur? emangnya kenapa?,”tanya Wirda penasaran. “gak apa-apa,”balasnya singkat. “aissshhh,”Wirda berdecak kesal. “oya rif, gue pinjem buku catetan loe dong,”. “ambil aja sendiri diloker gue,”. Usai mendapat persetujuan dari pemiliknya Wirda pun bergegas menuju loker. Namun setelah ia membuka loker itu, matanya membulat sempurna begitu melihat sebuah kotak persegi empat berwarna biru.

“rif,”panggil Wirda tanpa menoleh. “ada apa?,”sahutnya malas. “Arifff,”panggil Wirda sekali lagi. “apaan sih?,”kali ini Arif mulai sewot. “sini, coba liat loker loe!” perintahnya. “apaan si nih anak, ganggu gue aja!” walaupun malas tapi Arif tetap menurutinya. “coba loe liat,”ucap Wirda menunjukkan kotak itu kepada Arif. “kotak apaan nih?kotak amal?,”tanyanya heran. “ihh bukan.. itu kayaknya hadiah gitu deh,”seru Wirda yakin. “hadiah?,”sahut Arif. “atau jangan-jangan… dari Secret Admirer loe,”gumam Wirda berpendapat. “masa iya, gue gak pernah dapet kado kayak gini sebelumnya.”. Tak lama kemudian seorang siswi memasuki kelas. “Arif, happy birthday yah,”kata siswi itu yang ternyata adalah Sindy. “loe lagi ultah?,”tanya Wirda terkejut. Sedangkan Arif tidak mengindahkan pertanyaan Wirda barusan, ia justru kembali ketempat duduknya semula. “rif, gue nanya serius. Loe beneran ultah hari ini?,”. Arif mendengus kesal. “loe bisa diam gak! Gue tuh heran banget yah sama loe, kenapa sih loe selalu nanya hal-hal yang udah jelas kayak gitu?!”. Wirda mengerutkan kening menatap heran Arif yang kini mulai emosi. “kenapa loe jadi sering marah kayak gini? Apa loe selalu lapar tiap kali gue nanya sesuatu sama loe?” seru Wirda kemudian pergi meninggalkan kelas. Sementara Arif hanya mampu menatap punggungnya yang mulai hilang dibalik pintu.

Wirda yang baru saja keluar kelas melewati kelasnya Risky, tak sengaja melihat teman-teman sekelasnya tengah bersorak sorai menyanyikan lagu happy birthday. Karna rasa penasarannya, Wirda pun melangkah untuk mendekat. “Met ultah ya Risky... sorry nih kita cuma bisa ngasih ini,”ucap salah satu siswi sambil memberikan sebuah kue ulang tahun berukuran sedang. “gak apa-apa. Harusnya kalian gak usah repot-repot kayak gini. Gue jadi gak enak, apalagi gue murid baru disini,”ucap Risky. “ohh… jadi Risky juga hari ini ulang tahun,”Gumam Wirda dalam hati. Tanpa sengaja Risky melihat Wirda yang tengah berdiri di depan kelas. Ia pun beranjak untuk menghampiri.

“Wirda?,”panggil Risky yang mampu membuatnya terkejut. “loe ngapain berdiri disini? Mendingan sekarang loe masuk,”. “ah gak usah ris, gue cuma gak sengaja lewat aja kok. Oya ris, hari ini loe ulang tahun yah?,”tanya Wirda. “iya,”balasnya singkat. “selamat ulang tahun yah, sorry gue telat ngucapin. Habisnya gue baru tau kalo loe ulang tahun hari ini juga,”ucap Wirda sedikit menyesal. Mendengar ucapan Wirda yang mengatakan bahwa ia baru tau soal ulang tahunnya, Risky pun sedikit kecewa.

“Jadi, kado itu bukan buat gue.”ucapnya dalam hati. “iya gak apa-apa kok. Oya, jadi gimana soal kado yang kemaren pengen loe kasih keseseorang? Udah diterima sama dia?,”. Wirda menunduk sambil menggeleng. “gak ris, kayaknya dia gak suka sama kado yang gue kasih,”sahutnya lesu. “kok bisa? Emangnya dia ngomong apa sama loe?,”Risky menunggu jawaban dari gadis itu. “buktinya dia gak ngebuka kadonya, yang ada dia malah marah-marah sama gue,”jelas Wirda dengan senyum pahit dibibirnya. Risky sedikit mendengus, “udaaahhh gak usah loe pikirin. Mendingan sekarang loe ikut gue,”ajaknya. “ikut kemana?,”. “kekantin,” sahut pria itu.

Dari beberapa jenis makanan yang tersedia dimeja kantin, tak ada satupun yang disentuh oleh gadis itu. “loe lagi gak laper atau gak nafsu makan?,”tanya Risky heran. “gue udah sarapan tadi waktu dirumah,”. “terus sekarang apa yang harus gue lakuin sama semua makanan ini?,”. Wirda mencibir, “loe kan kurus… jadi loe harus abisin semuanya biar agak gemukan.”. Melihat senyum yang mengembang dibibir gadis itu Risky pun ikut tertawa.

[ Keesokkan Harinya ]

            “Ris, bisa ketemuan gak?gue tunggu ditaman belakang sekolah,”Itulah kata-kata yang dikirimnya lewat pesan. Tanpa menunggu balasan lagi, gadis itu pun berlari keluar kelas meninggalkan handphone yang tergeletak di atas meja. Tak lama kepergiannya, ia pun mendapatkan sebuah pesan masuk . Namun telat, gadis itu kini telah berada di taman sekolah. Untung ada Arif yang baru saja datang dan langsung mengamankan handphone itu. Melihat sebuah pesan dihandphone nya, Arif pun membuka pesan itu. “sorry Wir, hari ini gue dateng telat.”. Usai membaca pesan tersebut, Arif segera menyusul ketaman sekolah.

            Wirda, gadis yang tengah menunggu kehadiran Risky. Mungkin sudah 10 menit yang lalu, tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan nya. “loe bodoh yah?,”kata-kata itu membuatnya terkejut hingga menoleh kebelakang untuk mengetahui siapa orang itu. “apa maksud loe?,”tanyanya balik begitu mengetahui kalau ternyata orang itu adalah Arif. Kini pria itu ikut duduk disampingnya. “loe kesini dan ninggalin handphone dikelas gitu aja, untung gue dateng coba kalo nggak!”. “dari mana loe tau kalo gue ada disini?,”tanya Wirda sambil merebut handphone nya dari tangan Arif. “sebaiknya loe kembali kekelas. Karna dia gak akan kesini,”tutur pria itu tanpa menatap lawan bicaranya. “kenapa tiba-tiba loe jadi ngatur gue? Lagian gue yakin kok kalo dia pasti dateng.”. “loe tuh keras kepala banget yah. Emangnya ada perlu apa loe sama dia? Sampe ketemuan disini segala!”ucap Arif ketus. Wirda tidak menjawab. Arif mendengus kesal, belum sempat ia berkata tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah kotak berukuran sedang ditangan gadis itu. “ohh gue tau, loe pasti mau ngasihin itu kan ke dia? Buat apa?,”tanya Arif dengan nada sesantai mungkin.

“kemarin dia ulang tahun, dan gue belom sempat ngasih dia kado,”sahut Wirda tanpa menatapnya. “loe sempet-sempetnya nyariin dia kado meskipun ulang tahunnya udah lewat. Sedangkan ulang tahun gue loe gak inget sama sekali,”bentak Arif. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria itu Wirda pun bangkit berdiri.

“Apa maksud loe gue gak inget itu semua? Loe pikir kotak warna biru yang kemaren gue taro diloker loe itu dari siapa, hah?,”geram Wirda yang sengaja meninggikan suaranya. “ma-maksud loe?,”Arif semakin bingung dengan perkataan gadis itu. “Kemarin gue sengaja pura-pura minjem buku catatan loe dan manggil loe buat ngeliat langsung isi kotak itu. Tapi ternyata, apa yang loe lakuin? Loe malah marah-marah gak jelas sama gue.”. Dalam sekejap ucapan Wirda membuat Arif terpaku bahkan terdiam tanpa kata. Karna ia pikir Sindy lah yang memberikan kado itu. Secara dialah gadis yang pertama kali mengucapkan happy birthday kepadanya. “Jadi, yang loe maksud Secret Admirer itu loe sendiri?,”ucap Arif yang baru saja sadar. Wirda tidak menjawab sepertinya ia masih belum bisa terima kalau Arif sering membentaknya selama ini. “jawab Wir, apa benar kalo gadis kotak biru itu elo?,”tanya Arif memastikan. “gue rasa tindakan gue yang kemarin itu salah. Emang gak seharusnya gue ngelakuin hal memalukan kayak gitu. Secret Admirer, harusnya bukan itu kata yang tepat. Tapi ‘Stubborn Girl’. Karna omongan loe benar, kalo gue ini gadis keras kepala,” itulah kata-kata yang ia lontarkan sebelum pergi meninggalkan Arif yang bungkam seribu bahasa.

            Dikelas yang masih terlihat sepi, Risky menghampiri Wirda yang tengah menangis. Melihat kedatangan pria itu, secepat mungkin Wirda menghapus air matanya. “Apa yang terjadi? Kenapa loe nangis?,”tanya pria itu yang tampak cemas. “loe abis dari mana aja? Gue nungguin loe dari tadi ditaman sekolah,”ujar Wirda yang jelas-jelas tengah berbohong. Risky menatap dalam mata gadis itu, mencari kebenaran disana. “jadi, loe nangis gara-gara kelamaan nungguin gue?,”tanyanya pelan. “emangnya loe pikir apa?” ujar Wirda. “gue mau minta maaf sama loe, karna hari ini gue datengnya telat.”. “yaudah lupain. Lagi juga gue gak ada urusan kok sama loe!”ucap gadis itu membuang muka. “itu ditangan loe apa?,”tanya Risky sambil menatap kotak yang tengah dipegang Wirda. “i-ini…” belum sempat Wirda menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja pria itu merebut kotak tersebut kemudian dibuka, “apa ini kado buat gue?,”. Sebuah buku bersampul hijau dengan judul ‘Daun yang jatuh tak pernah membenci angin’ dan juga buku ‘hujan’ yang kemarin ia pinjamkan. Gadis itu mengangguk pelan.

            “Thanks atas kadonya,”tutur Risky kemudian melangkah pergi. Namun belum sampai 5 langkah tiba-tiba saja ia berbalik menatap Wirda, “lain kali jangan pernah pake nama Secret Admirer. Karna gak semua orang bisa pahamin itu,” itulah kalimat yang ia ucapkan sebelum akhirnya benar-benar pergi. Wirda, gadis itu sangat terkejut mengapa Risky bisa tau semuanya. Atau jangan-jangan… dia ada disaat ia tengah bertengkar dengan Arif?.

[ Keesokkan harinya ]

            Arif sengaja datang lebih pagi hari ini, tentu saja untuk melihat langsung isi kotak itu. Sebuah kotak berwarna biru, yang sempat membuatnya salah paham. Dibuka nya perlahan dan sangat berhati-hati. Sebuah jam tangan digital berwarna hitam coklat yang terlihat menawan. “Jadi ini yang dia lakuin buat gue? Gue gak nyangka kalo dia benar-benar perduli. Apa tingkah gue selama bikin dia kecewa? Gue emang bukan cowok yang peka.”rutuknya dalam hati.

            Wirda, gadis itu berjalan menuju kelas. Hingga sampai diambang pintu, langkahnya terhenti melihat Arif tengah menatapnya intens. Berlagak sok acuh, itulah yang saat ini Wirda lakukan. Sebisa mungkin ia menahan ekspresinya agar tidak salah tingkah. Ia berjalan menuju kursi duduknya dan hendak melangkah pergi dengan meninggalkan tas. Namun tangan kanan Arif mencegahnya. “Jawab dengan jujur. Apa loe suka sama gue?,” pertanyaan yang Arif lontarkan lebih terdengar seperti pernyataan. “lepasin tangan loe dari tangan gue,”Seru Wirda terdengar ketus. “gue mau tau, apa alasan loe ngasih jam tangan ini buat gue?,” dihadapan Wirda, Arif menunjukkan jam tangan itu.

 


 

            “Gak ada alasan buat gue ngejelasin semuanya sama loe,” sahut Wirda. “tentu aja ada. Setiap orang yang mengagumi orang lain, pasti punya alasan sendiri kenapa dia bisa mengaguminya.”. Sepertinya saat ini lidahnya kelu, gadis itu masih diam dengan seribu pertanyaan dikepalanya. “gue cuma mau denger kata-kata itu keluar dari mulut loe sendiri.” Sambung Arif dengan tatapan memohon. Wirda menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan. “iya, gue suka sama sifat loe yang terbuka. Gue suka sama cara loe yang memperlakukan gue seenaknya. Gue suka tiap kali loe marah-marah gak jelas sama gue, meskipun itu bikin kesal. Gue suka akan kepintaran loe. Yang jelas, gue gak pernah bisa berenti ngucapin kata suka terhadap loe.”. “kalo loe emang suka sama gue, tolong jangan datang dan pergi seenaknya… Karna gue gak mau ada banyak Secret Admirer lagi yang ngejar-ngejar gue.” Gumam Arif disertai dengan kekehan. “pede banget sih loe jadi orang. Kalo bukan gue, mana ada cewek lain yang mau sama loe. Emosional kayak gitu,”. “loe gak tau aja kenapa sikap gue selalu berubah-ubah kayak gitu. Karna gue suka kesel tiap liat loe dideketin sama anak baru itu.”. “jadi loe cemburu…”ledek Wirda. “bukan cemburu. Tapi lebih ke khawatir. Karna cewek kayak loe itu gak banyak didunia ini.”. “maksud loe, gue cewek yang kayak gimana?,”tanya Wirda mengerutkan dahi. “cewek yang mau aja dimarah-marahin sama orang lain. Wkwkwk”. Mendengar pengakuan Arif barusan, Wirda pun melayangkan satu pukulan ke kepalanya. Kini kedua insan itupun kembali dekat seperti sedia kala.

 

END

 

 

Karangan         : Sinta Bela

Judul               : Jangan Tanya Mengapa

E-mail              : S.bela100@yahoo.com

Blog                : Starnightbloggeradreass.blogspot.com

Minggu, 02 Oktober 2016

Terima kasih cinta


Namaku Kiara Kamila pangil saja Kiara. Besok aku akan mengikuti MOS untuk masuk SMK. Memang tidak enak rasanya ketika kita harus memulai kehidupan baru, suasana baru, dan teman baru. Tapi ya itulah hidup, kita harus bisa beradaptasi dimanapun tempatnya dan mengenal orang-orang yang baru.



Pagi ini cuaca terlihat sangat cerah, kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00. “ASTAGA!!! Mimpi apa aku semalam?Seharusnya aku sudah ada disekolah, tapi ini??? YA TUHAN..,” Tanpa banyak bergumam lagi aku pun langsung memasuki kamar mandi, bersiap kemudian segera berangkat sebelum hari semakin siang.



Begitu sampai, kulihat ratusan siswa tengah berkumpul dihalaman sekolah. Sedangkan aku?Aku masih diluar gerbang. Kurasa hari ini bukan hari keberuntungan bagiku. Aku sempat terdiam begitu melihat seorang pria berpakaian yang sama denganku datang menghampiri. “Apa kau juga telat?,”tanya pria itu dengan napas yang terengah-engah. Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Tak lama kemudian, seorang satpam datang menghampiri untuk membuka gerbang dan akhirnya menyuruh kami masuk. ”Jam berapa ini? kenapa baru datang?,”tanya ketua OSIS. ”maaf kalo kami datang telat,”sesalku. “kalo gitu kalian dihukum. Lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. SEKARANG!!!,”perintahnya dengan tegas. Tanpa membantah sedikit pun kami segera menuruti perkataannya. Sepuluh kali?apa dia gila, lapangan seluas ini harus aku putari?demi Tuhan ini hukuman terberat dalam hidupku. Orang tuaku saja belum pernah menghukumku sekeras ini, sedangkan dia, hanya ketua OSIS seenaknya menyuruhku untuk memutari lapangan.



“Kau mau dapat hukuman tambahan?kenapa masih duduk disitu?,”tanya pria yang senasib denganku.”gak apa-apa, kau lari duluan saja,”jawabku. Pria itu hanya mengangguk. Ku perhatikan dari jauh wajahnya yang lelah, serta keringat yang menetes meluncur deras kepipinya yang putih. Aneh, kenapa aku masih duduk disini dan terus menerus memperhatikan dia? Kalau ketua OSIS tau, bisa gawat. Akhirnya kuputuskan untuk ikut lari bersamanya.



Tepat diputaran ke lima, tiba-tiba saja kakiku lemas, napasku sesak, dan pria yang belum kuketahui namanya itu menghampiriku, “apa kau baik-baik saja?”. Aku tidak menjawab pertanyaannya, tanganku hanya memberikan isyarat untuk menyuruhnya mengambil sesuatu di dalam tasku. Segera ia berlari dan kembali membawa benda itu. Aku semprotkan sebanyak dua kali kedalam rongga mulutku, napas yang awalnya sesak kini mulai lega.”sebaiknya kau istirahat kita sudahi hukuman ini, aku rasa ketua OSIS akan mengerti,”usulnya kemudian membantuku untuk duduk dipinggir lapangan. ”Namaku Muhammad Reza, panggil saja Reza,”ucapnya memperkenalkan diri.”namaku Kiara Kamila, panggil saja Kiara,”balasku sambil tersenyum. Ia kembali bertanya, “sejak kapan kau sakit?”. “sejak kecil,”jawabku sekenanya. Sepertinya ia terkejut mendengar jawabanku barusan.“selama itu?,”. Aku pun mengangguk kecil. ”kenapa wajahmu kelihatan pucat?,”aku balik bertanya. Ia segera memalingkan wajahnya membelakangiku, ”tidak apa-apa”.



Usai mengikuti MOS kami pun berjalan menuju halte untuk pulang bersama dengan tujuan yang berbeda. Aku kejalan Merpati No.9 sedangkan dia kejalan Merak No.3. “aku duluan yah,”pamitku begitu bus yang kami tumpangi berhenti.”Iya, hati-hati,”pesannya. Sore itu matahari hampir tenggelam, untungnya rumahku tidak terlalu jauh dari gang, hanya membutuhkan waktu lima menit dengan berjalan kaki. Sesampainya dirumah, segera ku menuju kamar mandi untuk menghilangkan bau keringat. Begitu selesai, aku pun langsung beristirahat untuk memulai hariku yang baru diesok harinya.



KRINNGGG…

“Kali ini aku beruntung, ya meskipun datang dengan sambutan bel masuk, tapi setidaknya tidak ada hukuman untuk hari ini. Terima kasih Ya Tuhan,”batinku. Kuletakkan tas diatas meja kemudian menarik kursi dudukku. “Kiara,”panggil seseorang yang suaranya sudah tak asing ditelingaku.”Reza?,”ucapku sambil tersenyum. Betapa bahagianya, ternyata Reza mengambil jurusan yang sama denganku, yaitu Farmasi. “jadi kau mengambil jurusan yang sama?,”tanyanya dengan wajah yang berbinar.”iya, dan kita satu kelas,”sahutku. “kurasa kita akan lebih akrab nantinya,”. “aku harap begitu,”.



Semakin hari hubungan kami makin dekat, hubungan yang lebih dari seorang teman, yaitu sahabat. Dia selalu ada disaat aku sedang membutuhkannya, dia juga sering membantuku tiap kali aku dibingungkan dengan soal matematika. Dan kejadian itu terus berlangsung hingga kami duduk dikelas XII. Kami pun heran, mengapa hanya kami saja yang tidak dipisahkan, sedangkan murid-murid lain tiap tahunnya selalu pisah kelas dengan sahabat mereka. Apa itu suatu tanda, bahwa kami berjodoh?ah, mana mungkin.



Seiring berjalannya waktu, kedekatan kami mulai renggang sejak munculnya Tiara, gadis yang belakangan ini selalu dekat dengan Reza. Bukan hanya status persahabatan kami yang ia rebut, tetapi ia juga menyita waktuku bersama Reza. Reza yang dulu kukenal bukan lagi Reza yang sekarang, sikapnya begitu dingin tiap kali aku menyapanya. Hanya sahutan ‘Ya, tidak, dan maaf’ yang selalu kudengar. Waktu terus berjalan, tak terasa dalam waktu 3 bulan lagi kami bersama-sama melepas seragam SMK dengan wajah yang bangga. Dan selama 3 bulan ini, aku putuskan untuk mengubur kenanganku bersama Reza sementara waktu.



Satu persatu berbagai macam ujian telah terlewati, kini sampai pada puncaknya. Ujian Nasional yang selama ini menjadi Black Shadow bagi para murid tengah bertengger dihadapan kami. Hari pertama, kedua, ketiga, dan keempat sukses kami kerjakan bersama, tinggal menunggu hasil yang akan dibagikan 1 bulan kedepan, ditempat yang nantinya akan menjadi kenangan terakhir untuk kita, Kuta Beach. Sepertinya ini menjadi kesempatan emas untukku menyatakan semua isi hatiku selama ini kepada Reza, dengan begitu, jika dia menolakku maka hatiku tidak akan begitu sakit karena kami sudah lulus dan tidak akan bertemu lagi.



Satu bulan kemudian

Dimana semua orang tengah asyik mengobrol dan bernyanyi ria dipinggir pantai yang beralaskan pasir. Malam itu kulihat Reza sedang duduk sendiri sambil menikmati desiran angin laut yang menerpa wajahnya. Kuberanikan diri untuk menghampiri dan mengatakan padanya bahwa aku memendam perasaan yang sangat dalam. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya kemudian kuhembuskan perlahan untuk menetralisir rasa gugup.



“Reza,”panggilku. Ia pun menoleh.”Aku.. aku mau ngomong jujur sama kamu,”. “mau ngomong apa?,”tanyanya lembut.”aku mungkin cuma orang awam yang gak tau apa-apa soal perasaan, tapi aku juga gak bisa terus terusan nyembunyiin perasaan ini lebih lama lagi. Sudah cukup bagiku untuk merasa diabaikan layaknya kertas lusuh yang tidak tahu harus diapakan. Malam ini.. aku mau dengar jawaban dari kamu tentang perasaan aku.”usai menyampaikan isi hatiku, kutatap dalam matanya. Seperti ada angin kencang yang menerpa tubuhku. Sikapnya kini membuatku heran, ia menarik lenganku dengan kasar kemudian menghempaskannya ditengah ratusan orang yang sedang berpesta hingga tak ada lagi suara yang terdengar. Reza mengambil mic yang berada diatas panggung, kemudian kembali kesisiku.



“Coba semuanya dengarkan! Kalian perhatikan gadis ini baik-baik, bukankah kita semua sudah mengenalnya?,”. “Ya, namanya Kiara, gadis yang selama 3 tahun ini satu kelas denganku. Malam ini dia datang menghampiriku tanpa maksud yang jelas, dan kalian tau apa yang dia katakan?,” semuanya menggeleng.”dia baru saja menyatakan semua perasaannya padaku. Dia, gadis yang sedang kita tatap ini, dengan percaya diri menembak seorang pria. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tapi mana mungkin ada pria yang mau dengan gadis penyakitan seperti dia?.” Kata demi kata terus meluncur dari mulutnya, dan itu amat sangat menyiksaku terutama hati. Sehingga dengan refleks tanganku melayang diudara dan mendarat dipipi sebelah kirinya. Malam ini akan menjadi malam terburuk sekaligus malam tergila yang pernah kualami dalam hidupku selama 17 tahun ini.



Setelah tiga hari kepulanganku dari tempat terburuk itu, tiba-tiba saja aku disuguhkan berita yang tak kalah gilanya. Pagi itu Ibunya Reza menelfonku, kalian tahu kabar apa yang aku dapat?Ibunya bilang, kalau Reza dinyatakan meninggal tepat pukul 06.00 pagi ini. Tubuhku kaku bagaikan tersambar petir. Pria yang baru saja mempermalukanku didepan umum karena masalah penyakit, kini justru dialah yang lebih dulu pergi. Dengan langkah gontai kudatangi makamnya, dan kulihat disana juga ada Tiara yang berjongkok sambil merengkuh tubuh Ibu Reza. Kuhampiri mereka dan minta penjelasan sedetail mungkin. Kemudian Tiara memberikan selembar surat untukku.



To:Kiara

Terima kasih atas waktu yang selama ini kita habiskan. Aku harap kau tak akan melupakanku. Soal malam itu, aku tidak tau harus minta maaf seberapa banyak. Tapi kau perlu tahu, sebelum kau menyatakan semuanya, aku sudah lebih dulu menganggap kau sebagai penghuni hatiku. Mengenai penyakit, sangat bodoh jika aku mengejek asma yang kau derita. Karena akulah yang seharusnya kau ejek, seorang pria dengan leukemia yang di deritanya. Satu lagi yang perlu kau tau, Tiara, dia adalah sahabat lamaku, selama ini Ayahnya lah yang merawatku. Jadi kau tidak perlu salah paham lagi soal ini. Terima kasih cinta.. kau telah mengajarkan ku apa artinya mencintai dan dicintai. Selamat jalan Kiara, kenang aku dalam hidupmu.”



Reza (Pria terjahat dalam hidupmu)








Cerpen karangan: Sinta Bela

Facebook: Sinta BelLa


“ Karena Hijabmu ”





Ditengah keramaian taman kota, terlihat sepasang insan tengah berbincang.

“Bunga,” ucap Aldi, seorang pria yang tengah duduk disampingnya. “iya?” sahut gadis bernama Bunga tanpa menoleh. “menurut loe, mimpi itu apa?” tanya pria itu. “Eum… menurut gue, mimpi itu halusinasi ketika loe sadar, dan disaat loe tidur halusinasi itu kebawa kealam bawah sadar loe”. “spesifik juga, tapi gue belum pernah berhalusinasi tentang mimpi ini sebelumnya.” Ujar Aldi. “emangnya loe mimpiin apa Di?” tanya Bunga penasaran. “semalem gue baru aja mimpi, dan di dalam mimpi gue itu gue ketemu sama cewek pake hijab, tapi gue lupa sama mukanya.” Jelas Aldi sambil mengingat-ingat.

“Jangan-jangan… cewek itu gue?” tebak Bunga. Mendengar perkataan Bunga barusan, membuat Aldi geleng-geleng tak percaya. “gue rasa loe deh yang berhalusinasi, mana mungkin cewek preman kayak loe mau bertobat pake hijab kayak gitu” cercanya. “Loe gak pernah denger kata pepatah ya? Bahwa sekeras-kerasnya karang, akan hancur juga oleh hantaman ombak. Apalagi gue, yang statusnya sebagai manusia, pasti akan bisa berubah. Asalkan…” Bunga sengaja mengantung perkataannya. “Asalkan apa? Loe kalo ngomong jangan setengah-setengah gitu dong.”. “Asalkan… ada orang yang mau merubah sifat gue jadi lebih baik lagi.” Sambung Bunga. “Yaudah kalo gitu cepet-cepet deh loe rubah sifat loe itu, soalnya gue udah muak punya temen mantan preman pasar kayak loe.” Ungkap Aldi kemudian cepat-cepat menjauh dari gadis itu untuk menghindari pukulannya. “ALDIII!!!” teriak Bunga sambil mengejar Aldi yang mulai menghilang.



* * *

“Ah gue bosen udah 3 tahun kuliah dikampus ini, tapi yang diliat itu-itu… aja” Gumam Aldi. “Ya kalo loe bosen, kenapa loe gak pindah aja kekampus lain.” Saran Bunga. “Ide loe boleh juga. Tapi kalo nanti gue beneran pindah, gimana sama nasib loe? Pasti loe bakalan kurus kering gak makan berhari-hari karena mikirin gue”. “Biarpun gue kurus, paling gak gue bisa senang karena gak ada lagi orang yang usil sama gue dikampus ini.” Balasnya cuek. “Okehhh gue pegang omongan loe!” tegas Aldi.

Sesaat mata Aldi menangkap keberadaan seorang gadis yang tengah berteduh dibawah pohon. “Sempurna…” itulah kata yang keluar dari mulut pria itu sebagai gambaran dari apa yang ia lihat. “Hmm? Apa yang sempurna?” tanya Bunga heran. “Mata loe belom rabun kan?” Aldi menegaskan. “Apaan sih loe, ya belom lah!” gerutu gadis itu. “Kalo gitu loe bisa liat sendiri cewek yang ada dihadapan loe sekarang.” Perintah Aldi yang menyuruh Bunga untuk menurutinya. “Ohh cewek hijab. Kenapa emangnya?” tanya Bunga cuek. “Sungguh pemandangan yang indah. Gimana kalo gue deketin dia sekarang?” ucap Aldi seolah minta restu dari Bunga. “Loe gak lagi minta restu kan sama gue? Mau loe deketin dia kek, jauhin dia kek, bukan urusan gue” Sahut Bunga. “Kalo gitu loe pilih mana? Kanan atau kiri?” tanya Aldi meminta pendapat. “Kanan,” jawab Bunga cepat. “Bagus. Itu artinya gue harus maju”. “Kalo gue pilih kiri? Itu artinya apa?” Bunga balik bertanya. “Maju,” Sahut pria itu. “Loe ngerjain gue ya?” geram Bunga. “Plis, jangan dibahas sekarang. Yang harus gue lakuin sekarang adalah… Maju!” Tanpa mendengar ocehan berikutnya yang keluar dari mulut Bunga, pria itu sudah lebih dulu pergi. “Pergi aja loe. Gak usah balik-balik lagi!” teriak Bunga.

“Panas ya?” Tanya Aldi yang lebih tepat disebut sebagai basa basi. Gadis itu menoleh mendengar ucapan Aldi kemudian mengangguk. “Kalo boleh tau, mau kemana?” tambahnya. “Lantai 3 kelas manajemen,” Sahut gadis itu. “Kalo gitu, ayo aku anter!”. “Gak usah. Aku bisa pergi sendiri kok.” Tolak gadis itu. “Aku tau kamu bisa pergi sendiri, tapi aku gak bisa biarin kamu pergi sendiri”. Sepertinya pria itu kini mulai mengeluarkan jurus modusnya. “Terima kasih” ucap gadis itu akhirnya. “Ayo, biar aku anter!”.


“Kamu udah masuk semester berapa?” Tanya Aldi sepanjang jalan. “Baru semester 4” Jawab gadis itu. “Kalo gitu aku senior kamu dong yah? Ngomong-ngomong, kok baru keliatan hari ini?”. “Mungkin kakaknya aja yang baru ngeliat aku” kata gadis itu lemah lembut. “Hmm… mungkin. Kalo boleh tau, nama kamu siapa?” tanya Aldi yang sontak membuat langkahnya terhenti. “Rana kak,” tutur gadis itu tanpa menatap lawan bicaranya, karena dia tau kalau saat ini pasti Aldi tengah menatapnya. “Aku Rifaldi, panggil aja Aldi.”. Rana mengangguk kecil kemudian melanjutkan langkahnya.



* * *

            “WOY!!!” Teriak Aldi berusaha mengagetkan Bunga yang tengah membaca buku. “Berenti ngejailin gue, gak lucu!” Ucapnya ketus. “Kenapa sih loe, lagi dateng bulan? Apa loenya yang datengin bulan?” ledek Aldi yang sama sekali tak merubah raut wajah Bunga. “Gimana usahanya? Berhasil?” Gumam Bunga mengalihkan pembicaraan. “Kok ngomongnya jadi kearah sana? Gue jadi curiga nih, atau jangan-jangan… sikap cuek loe barusan, karena loe cemburu sama gue?” Selidik Aldi. “GAK! Mana mungkin gue cemburu sama loe. Yang ada mau muntah gue!” geramnya sambil menutup sampul buku. “Loe cemburu sama gue sampe akhirnya loe mau muntah. Itukan yang loe maksud? Penjelasan loe kurang spesifik” Kata Aldi yang terus-terusan menguji kesabaran Bunga. “Ihhh nyebelin banget sih loe! Pergi sana. Dasar saiko!” usir Bunga dengan tegas, namun senyuman tipis jelas terlihat dibibir mungilnya.

            Sepulang dari kampus, pria itu lantas membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang berukuran king size. Matanya tak henti menatap langit-langit atap. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Apalagi kalau bukan gadis bernama Rana yang baru saja ia kenal tadi siang. Kini bukan hanya bola matanya yang bergerak-gerak, tapi juga posisinya. Mulai dari berbaring, duduk, berdiri, hingga berbaring lagi. Yang ada di pikirannya cuma satu. Yaitu gadis berhijab bernama Rana. “Rana? Apa mungkin dia gadis yang ada di dalam mimpi gue?” Gumam Aldi.

* * *

            Disaat Aldi sedang jalan beriringan dengan Bunga, tiba-tiba saja Rana lewat. Sontak Aldi langsung mengejarnya dan meninggalkan Bunga bahkan mengabaikan panggilannya.

“Rana, tunggu!”. Mendengar namanya dipanggil, gadis itu berhenti dan menoleh keasal suara. “Kak Aldi. Ada apa kak?” tanya Rana. “Nanti siang aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Bisa kan?”. Rana tidak langsung menjawab, ia berfikir sejenak kemudian berkata, “Iya kak aku bisa, tapi maaf karna aku gak bisa lama-lama”. “Syukur deh. Iya gak apa-apa kok. Yaudah nanti aku samper ke kelas kamu yah,”. Rana mengangguk. “Yaudah ya ka. Aku duluan.” Pamitnya. “Iya,” Sahut Aldi mengantar kepergiannya.

* * *

            “Kenapa kakak ngajak aku kesini? Apa ada yang mau kakak omongin?” Tanya Rana. “Rana. Mungkin ini terlalu singkat, karena baru kemarin juga kita kenalan. Tapi dari apa yang kakak tau, cinta pada pandangan pertama itu nyata. Buktinya saat ini kakak ngalamin. Kakak mau bilang, kalo kakak suka sama kamu.” Ungkap Aldi. “A-apa kak?” tanya Rana gugup. “Kakak suka sama kamu, bahkan bukan sejak kemarin ataupun saat ini, tapi sejak kamu muncul dalam mimpi kakak pertama kali.”. Rana terdiam tak tau harus berkata apalagi. Sampai akhirnya Aldi kembali angkat bicara, “Apa kamu mau jadi teman hidup kakak?”. “Sama seperti kakak, aku juga percaya kalau cinta pada pandangan pertama itu ada. Dan aku juga ngerasain hal yang sama waktu pertama kali kakak nyapa aku. Tapi aku sangat menghargai jilbab ini, dan aku harap kakak juga mau menghargainya. Untuk itu, kita jalani apa adanya.”. Mendengar ucapan luar biasa Rana, membuat Aldi semakin jatuh cinta padanya. Kini mereka benar-benar tersenyum bahagia. Berbanding terbalik dengan gadis yang entah sejak kapan tengah menguping dari balik pohon dengan segala kesedihannya. Ya, dia adalah Bunga, seorang gadis yang statusnya hanya sebagai sahabat Aldi.

            Ditengah asyiknya Aldi dan Rana yang sedang mengobrol, datanglah Bunga dengan wajah berbinar-binar. “Aldi,” Sapa Bunga. Mendengar namanya dipanggil, Aldi pun menoleh. “Bunga?” Aldi bergumam tak percaya akan apa yang dilihatnya saat ini. Kini Bunga merubah penampilannya, dari yang dulunya gemar memakai rok mini, kini berevolusi menjadi rok panjang lengkap dengan hijabnya. “Loe udah ketemu sama orang baik yang mampu merubah penampilan loe sampe kayak gini?” tanya Aldi histeris. Bunga menggangguk senang. “Siapa?” Tambah Aldi. “Elo,” Sahut Bunga singkat, jelas, dan padat. Aldi tertegun mendengarnya. “Apa maksud ucapan loe barusan?” Kata Aldi balik bingung. “Gue berhasil ngerubah penampilan gue sampe kayak gini itu semua berkat loe Di. Loe adalah orang terbaik yang pernah gue kenal. Maksud gue cowok terbaik yang berhasil bikin gue kagum sampai akhirnya gue suka sama loe.” Ungkap Bunga. “Loe jangan main-main sama ucapan loe. Gue ini cuma sahabat loe dan loe juga tau itu kan?”.

            “Iya gue tau itu, tapi bukannya cinta itu gak mengenal status?” Bunga menentang. “Sorry Bunga, bukannya gue gak ngehargai perasaan loe. Tapi gue cintanya sama Rana bukan sama loe.” Jelas Aldi. Kalimat yang keluar dari mulut Aldi benar-benar mampu melukai hati Bunga dalam sekejap. Kini cairan bening telah sampai dipipi mulusnya. Rana yang menyaksikan kejadian itu tak bisa tinggal diam. “Kak Aldi, kenapa kakak ngomongnya kayak gitu? Itu bisa nyakitin hatinya Kak Bunga”. “Rana, kamu harus tau. Ketika pria tidak menyukai seorang gadis, maka dia akan menolaknya saat itu juga. Meskipun ia tau kalau ucapannya mampu melukai hati gadis itu, tapi itu yang terbaik dibandingkan dia harus berpura-pura suka kemudian memutuskannya dengan alasan tak pernah cinta.”. Karena tak sanggup lagi menahan sakit hati, Bunga memilih pergi dan berlari.

* * *

            “Bunga,” panggil Aldi menghampiri. “Gue mau terus terang sama loe. Loe kelihatan cantik kalo pake hijab kayak gini. Jujur, gue benar-benar kagum sama loe. Karena loe punya keyakinan buat ngerubah sikap serta penampilan sampe kayak gini. Tapi niat loe itu salah, loe ngelakuin semua ini karena seseorang. Gue lebih suka sama cewek yang apa adanya, tanpa harus meniru gaya orang lain. Sekarang gue harap loe bisa ngerti, gue menyukai loe sebagai sahabat.”. Tutur kata Aldi sangat menyentuh bagi Bunga, karena selama ini belum pernah ada seseorang yang mengatakan hal sejujur ini padanya. Tanpa berhenti menangis, Bunga berhambur ke dalam pelukan Aldi.



END



#Pesan Moral :

            Mencintai dan dicintai adalah suatu hal yang berbeda. Hanya ada 2 kemungkinan untuk membuatnya sama. Jadilah diri sendiri, maka engkau akan dicintai. Dan jadilah orang lain, maka engkau yang akan mencintai.




Ceren karangan: Sinta Bela
Judul: Karena Hijabmu
Blog: Starnightbloggeradreass.blogsot.com