Translate

Minggu, 09 Oktober 2016

Jangan Tanya Mengapa!


JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 01)

Sebuah pagi yang indah untuk awal yang indah pula. Itulah yang diharapkan oleh Wirda. Namun faktanya kini semua siswa menatapnya sinis. Mungkin penampilannya yang terlihat mewah makanya mereka menatapnya seperti itu. Akh, tapi tidak juga. Penampilannya sama saja seperti mereka. Namun ada satu yang membuatnya tampak menawan, yaitu pesona yang ia pancarkan.

[ Bel Istirahat ]

            “Wir, mau kemana?”Tanya Arif.”mau nyari tempat duduk,”sahut gadis itu sambil membawa kotak bekal ditangannya.”duduk disini aja,”ucap Arif menawarkan.”oh yaudah,”Wirda mendudukan dirinya tepat di depan Arif. “kenapa harus bawa bekal? Kenapa gak coba makanan sini aja?”Tanya Arif berpendapat.

“Gak apa-apa, lebih suka masakan rumah.”sahut Wirda. “hmm gitu,”. “oya rif, boleh nanya gak?”kali ini Wirda lah yang mengajukan pertanyaan. “boleh, mau nanya apa?”. “apa sifat anak-anak jadi berubah semenjak gue masuk ke sekolah ini?”. Arif diam sejenak kemudian berkata,”eum.. gak juga sih. Sifat mereka emang udah kayak gitu dari awal,”. “gue kira semenjak kepindahan gue, habisnya tatapan mereka tuh kadang suka bikin gue gak pede.”ungkap Wirda.”gak pede kenapa?,”tanya Arif bingung. “ya.. gak pede aja. Takut salah penampilan,”. “gak ada yang salah kok sama penampilan loe, mereka nya aja yang pada sinis.”. “Btw , kok loe mau temenan sama gue?”tambah Wirda. “kok nanya nya gitu? Emangnya ada aturan kalo kita harus temenan sama siapa aja?”kata Arif. Wirda pun menggeleng. “aneh-aneh aja sih nanya nya,”gumam Arif sambil geleng kepala, sedangkan Wirda hanya tersenyum.

            Sepulang sekolah Wirda pun mampir ketoko buku langganannya, apalagi kalau bukan untuk membeli novel favoritnya. Kini yang ia lakukan adalah berpindah tempat dari rak pertama ke rak berikutnya untuk mencari keberadaan novel itu. Entah ia yang terlalu serius atau orang disampingnya yang serius, yang jelas saat ini mereka sama-sama menabrak satu sama lain. “aduh, maaf gak sengaja.”tutur Wirda menyesalinya. “gak kok, seharusnya gue yang minta maaf. Karna gak sengaja nabrak loe.”pria itu yang terdengar lembut. Pria berperawakan tinggi, berkulit putih yang membuatnya kontras dengan rambut berwarna kecoklatan. Wirda sempat tertegun melihatnya. Bukan karena ketampanan pria itu, tapi karena wajahnya yang sudah familiar. Setelah diamatinya baik-baik, ternyata benar saja. Ia memang sudah pernah bertemu dengan pria itu sewaktu diruang kepala sekolah tadi.

            “Ohh loe murid baru yang tadi pagi diruang kepala sekolah kan?,”tebak Wirda sangat yakin.”iya, loe juga kan?,”katanya. ”kok bisa kebetulan yah. Oya loe mau cari buku apa?,”Tanya Wirda antusias. “itu, di depan loe.”jawabnya sambil memberi isyarat. “hm? Buku ini?”Wirda memastikan. “Iya,”sahutnya sambil mengangguk kecil. “oh yaudah, ambil aja.”gumam Wirda. “gue kira loe juga mau ngambil buku itu,”. “tadinya, tapi berhubung bukunya sisa satu. Yaudah buat loe aja,”. “yang bener?,”Tanya pria itu. “iyaaa beneran.”. “terus loe gimana?,”. “masih ada buku-buku lain,”sahut Wirda tulus. “okey kalo gitu. Yaudah gue kekasir duluan yah.” Pamitnya. “Iya,”kata Wirda dan gadis itu pun kembali sibuk mencari buku lain.

[ Keesokkan Harinya ]

            Seperti biasa, Bu Sarah datang dengan membawa kertas ditangannya. Namun kali ini bukan lembar soal ulangan, namun lembar hasil ulangan kemarin. “Dengarkan! Sekarang ibu sudah megang hasil ulangan kalian. Tolong bagiin Zara.”perintah Bu Sarah. Tanpa disuruh yang kedua kalinya, Zara pun mengambil kertas ulangan dan membagikannya. “Sindy? Omaygod. Nilai loe mendekati kata sempurna. 90…”Puji Zara sambil memberikan kertas itu. “kalo gue sih gak heran ngeliat nilai ulangan loe rif. 95…” ucap Zara memberikan kertas itu.

 

Dan kertas ulangan terakhir yang seharusnya diberikan kepada Wirda pun tidak ada. “bu kertas ulangan Wirda gak ada,”lapor Zara. ”Siapa?Wirda? Ohh iya, kertasnya ada di ibu,”seru Bu Sarah. “kok dipisahin gitu bu?”Tanya Wina heran. “iyaaa soalnya nilai ulangan Wirda paling tinggi.”jelas Bu Sarah. “lho, bukannya nilai ulangan yang paling tinggi itu Arif sama Sindy ya?,”tegas Zara. “ini buktinya,”Bu Sarah pun menunjukkan kertas ulangan tersebut dan memberikannya kepada Wirda. “Apa? Seratus?,”ucap Sindy terkejut. Bukan hanya Sindy, tapi Arif dan yang lainnya juga menatap Wirda tak percaya.”bohong kali tuh bu. Nilai oplosan,”celetuk Wina.”berapa nilai kamu Wina?”Tanya Bu Sarah. “4,5 lagi bu,”jawabnya malu-malu. ”kalo gitu kamu diam. Gak ada perkembangan sama sekali,”tegas Bu Sarah yang mampu membuat Wina bungkam seribu bahasa.

[ Jam Istirahat ]

            Sejak awal mereka ke kantin, Arif sama sekali tidak bicara atau bahkan sekedar menegurnya. Pandangannya terus tertuju pada Wirda yang kini duduk saling berhadapan dengannya. Wirda yang merasa tak nyaman, sedikit menggeser tempat duduknya. “rif, kenapa sih loe ngeliatin gue kayak gitu?,” Pertanyaan Wirda sontak membangunkan Arif dari lamunannya. “hm? Apa Wir?,” bukannya menjawab Arif justru bertanya balik. “tau akh, kayaknya tingkah loe mulai ngikutin anak-anak deh. Selalu natap gue gak jelas maksud dan tujuannya.”ketus Wirda yang dibalas cengiran oleh Arif.

            “Gue cuma gak nyangka aja, kalo ternyata loe itu pintar,”Aku Arif. “biasa aja ah, lagian loe juga pintear kok,”ucap Wirda ikut mengakuinya. Ditengah asiknya mereka mengobrol, tiba-tiba saja seorang pria menghampiri mereka. “permisi, sorry ganggu.”ucap pria itu. “Hei. Ada apa?,”Tanya Wirda sambil tersenyum. Pria itu melirik kearah Arif kemudian berkata, “bisa ngomong bentar gak?,”. “eum.. emang gak bisa disini aja?,”kata Wirda merasa tak enak jika harus meninggalkan Arif. “gue mau ngomong berdua,”sahut pria itu. Wirda menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. “yaudah kalo gitu. Oya rif, sorry nih ya gue tinggal dulu,”pamit Wirda. Arif mengangguk kecil.

[ Taman Belakang Sekolah ]

“Nih,”ucap pria tersebut sambil mengulurkan sebuah buku yang berjudul ‘Hujan’.

“lho, kenapa bukunya dikasihin ke gue?,”Tanya Wirda heran. “loe juga mau baca buku ini kan?,”. “Iya, terus kenapa?,”tanya Wirda yang masih belum paham. “kalo loe mau, loe bisa baca buku ini tanpa harus beli lagi,”. Wirda mengerutkan keningnya mendengar ucapan pria itu barusan. “tapi kan loe baru beli buku itu kemaren, emangnya udah kelar bacanya?,”. “udah kok. Semalem udah gue tuntasin,”jawab pria itu. “hah? Semaleman? Loe begadang?,”tanya Wirda tak percaya. “gak perlu begadang buat baca buku kayak gini, lagian halamannya juga tipis kok,”ujarnya. “tipis? Buku lumayan tebal kayak gini dibilang tipis?, kayaknya nih anak benar-benar jenius,” batin Wirda. “kenapa bengong? Loe udah gak tertarik yah sama buku ini?,”.

 

“Ahh enggak kok, kata siapa?, yaudah kalo gitu gue pinjem dulu yah buku nya,”. ”Oya… udah sering banget kita ketemu, tapi belum tau nama satu sama lain. Gue Wirda, loe?,” sambungnya. “Iya juga. Gue Risky. Oya ngomong-ngomong yang tadi itu siapa?,”. “yang tadi? Ohh Arif maksud loe? Dia itu teman sekelas gue,”sahut Wirda. “hmm..,” Risky mengangguk paham. “kayaknya udah mau masuk nih, gue kekelas duluan yah, makasih bukunya,”pamit Wirda. “iya sama-sama,”balas Risky.

JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 02)

[ Kelas ]

Saat Wirda sampai dimulut pintu, langkahnya terhenti begitu melihat Pak Amar telah berdiri di depan meja guru. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kelas. “permisi pak,”serunya. Mendengar suara Wirda barusan membuat Pak Amar menghentikan aktivitasnya. “siapa?,”tanya nya sambil membenarkan kacamata untuk memperjelas penglihatan. “saya Wirda pak, maaf telat,”. “yaudah duduk,”perintahnya. Dengan berlari kecil Wirda menghampiri kursinya.

            “Shut, abis dari mana aja?,”tanya Arif sedikit berbisik. “ada urusan sedikit,”sahut Wirda singkat. “Sama anak baru itu?,”tanyanya lagi. “iya,”balas Wirda. “kok lama banget?,”. “iya gue tau kalo gue lama datengnya. Udah dulu ya ngobrolnya ntar lagi, nanti Pak Amar marah,”. Meski Arif tak ingin berhenti bertanya, namun ia tetap menuruti perkataan Wirda. Kini dirinya hanya dapat menghela nafas sambil menunggu jam pulang untuk melanjutkan pertanyaannya.

            “Wirda tunggu!”panggil Arif menyetop langkahnya.”kenapa rif?,”tanya Wirda. “tadi loe belom jawab pertanyaan gue. Emangnya loe abis ngapain aja sama anak baru itu?,”. “gak ngapa-ngapain kok, dia cuma…”. “cuma apa?,”kejar Arif menunggu kelanjutan ucapan Wirda. “apaan si, kenapa muka loe mendadak serius gitu? Tadi itu dia cuma kasih pinjem gue buku,”jelas Wirda. Arif menghembuskan nafas lega. “eh, kok loe malah ngikutin gue sih. Bukannya loe bawa motor?,”tutur Wirda yang membuat Arif sadar. “Oiya hampir aja lupa. Ikut gue yuk!”ajaknya sambil menarik tangan Wirda. “ikut?kemana?,”tanyanya heran. “ya pulang lah, loe mau pulang kan?,”. “i-iya, loe mau nganterin gue?,”. “udah gak usah banyak tanya, nih cepet pake helmnya,”. Tanpa banyak tanya lagi Wirda pun menuruti perkataan Arif dan naik kemotornya.

            Sesampainya dihalaman rumah, “makasih ya rif, karna udah mau nganterin gue,”seru Wirda dengan seulas senyum. “nanti sore, ada waktu luang gak?,”tanya Arif dengan hati-hati. Wirda tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak sambil mengingat-ingat. Sepertinya ia mempunyai banyak waktu luang beberapa hari ini. “kayaknya free. Emangnya kenapa?,”. “gue mau ajak loe jalan-jalan,”sahut Arif. “cih, jalan-jaalaan… loe pikir gue anak balita apa, pake diajak jalan-jalan segala,”cercanya. “loe mah bukan balita, tapi LANSIA,”ejek Arif sambil menghidupkan motornya kemudian berlalu untuk menghindari pukulan maut dari gadis itu. “enak aja loe. Eh, tunggu. Jangan kabur!” teriak Wirda namun sia-sia toh pria itu sudah keburu pergi.

            Arif membunyikan klaksonnya agar Wirda mendengar dan segera keluar. Tak perlu menunggu waktu lama, ia pun muncul dari balik pintu. Wirda, gadis itu menghampiri kediaman Arif. Pria yang saat ini sedang tertegun menatap kagum sosok dihadapannya. Gadis itu kini melambaikan tangan tepat di depan wajah Arif untuk segera menyadarkannya. “rif. Jadi pergi gak nih?,”tanyanya. “hm? I-iya jadi, yaudah yuk naik!”balasnya gugup.

            “Sebenarnya loe mau ajak gue kemana sih?,”tanya Wirda memecah keheningan. “apa? Sorry gue budek kalo lagi dimotor,”balasnya. “Aish..,”gerutu gadis itu berdecak kesal. Sedangkan Arif tersenyum dibalik helmnya. Karna jujur saja, bukannya ia tidak mendengar pertanyaan Wirda barusan, melainkan ia sendiri tidak tau harus pergi kemana. “Rif, gimana kalo kita ketoko buku aja?,”tawar Wirda. “apa?,”tanya Arif. “TOKO BUKU,”ulangnya dengan penekanan disetiap kata. “mau ngapain ketoko buku?,”. “mau ngambil gaji. Ya mau beli buku lah…”. “gitu aja sewot. Yaudah kita ketoko buku,”ujar Arif sementara Wirda pun tersenyum senang, bukankah itu memang tempat favoritnya.

            “Gue tunggu disini aja yah,”kata Arif. “lho kok gitu, kenapa loe gak masuk aja?,”. “gak usah deh, gue gak biasa masuk ketempat gini-ginian.”. “ah payah loe. Yaudah bener ya tunggu disini, jangan tinggalin gue…”. “iyyaaa bawel… jangan lama-lama.”pesan Arif. Gadis itu pun segera memasuki toko buku seperti biasa untuk membeli buku yang sedang diincarnya. Sesampainya di dalam, tak sengaja ia berpapasan dengan seorang pria yang tengah memilih-milih buku. “Risky?,”panggil Wirda yang masih tidak yakin. “Hei. Sama siapa Wir?,”tanya pria itu. “ya ampun.. lagi-lagi kita ketemu ditempat yang sama. Itu, sama cowok yang berdiri di luar pintu,”sahutnya sambil menunjuk kearah Arif. “ohh teman sekelas loe?,”. “iya. Loe nyari buku apa lagi?,” tanya Wirda. “nih,”ditunjukkannya sebuah buku berjudul ‘. “ohh buku itu. Oya ris, gue boleh minta pendapat loe gak?,”. “boleh, pendapat apa?,”.

            “Eum… gimana yah ngomongnya. Seandainya nih yah… kalo ada cewek yang suka sama loe, terus dia mau ngasih sesuatu. Kira-kira loe mau hadiahnya itu berupa apa?,”. Risky tersentak kaget mendengar pertanyaan Wirda barusan. “eum… apa yah. Mungkin sebuah buku,”balasnya. “buku yah?,”Wirda memastikan sekali lagi. Risky pun manggut. “emangnya buat siapa Wir?,”tanya Risky penasaran. “buat… seseorang yang besok mau ulang tahun,”sahutnya tersenyum riang. Dalam sekejap rona wajah Risky pun memerah. Hatinya berdebar hebat merasakan degupan jantung yang memompa darah begitu cepat. Bagaimana ia tidak seperti itu, jelas-jelas kalau seseorang yang besok akan ulang tahun itu adalah dirinya. Tapi dari mana gadis itu tau?. “Ris? Risky!”panggil Wirda yang sontak membuyarkan lamunannya. “eh iya Wir, kenapa?,”tanyanya gugup. “kenapa?harusnya gue yang nanya, loe kenapa jadi patung kayak gitu?,”. “oh, gak apa-apa kok. Gue cuma bingung aja harus ngomong apalagi. Kalo gitu selamat ulang tahun deh buat yang besok ultah,”ucapnya dengan raut wajah gembira. “apaan sih loe. Udah duluin aja. Ulang tahunnya juga besok,”.

Arif, pria itu sudah mulai bosan saat ini. Awalnya ia berusaha untuk menelfon gadis itu, namun begitu melihat ia sedang bersama seorang pria Arif pun mengurungkan niatnya dan bertekad untuk menghampiri mereka. “teman loe pake kemeja warna merah?,”tanya Risky menebak. “iya, kok loe tau?,”tanya Wirda. “itu, dia nyamperin kita,”balasnya. Begitu Wirda menoleh ternyata benar saja, bahkan kini Arif telah berdiri lurus tepat di belakangnya.

“Arif? Katanya loe gak mau masuk,”gumam Wirda heran. “masih lama?,”tanyanya dengan nada dingin sambil menatap kearah Risky. “elo… nanya gue atau Risky?,”tanya Wirda bingung. “masih lama ngobrol sambil milih-milih bukunya?,”lanjutnya sinis. “eum… sebenarnya… gue bingung mau beli buku apa,”kata Wirda. “kalo gitu kenapa gak keluar dari tadi? Kenapa harus buat gue nunggu lama?,”tuturnya yang membuat Wirda heran kenapa tiba-tiba sikapnya aneh. Memang dasar pria aneh. “udah kan? Gak jadi beli? Yaudah kalo gitu kita ketempat lain,”ajaknya sambil menarik tangan Wirda. “Eh, Tunggu dulu. Risky, gue duluan yah,”pamit Wirda yang dibalas anggukan oleh Risky.

Sepanjang jalan Wirda terus memutar otaknya untuk mencari jawaban atas perubahan sikap Arif yang benar-benar aneh. Apa mungkin karna tadi ia menunggu terlalu lama? Tapikan baru 15 menit. Ah entah lah, otaknya benar-benar pusing memikirkan hal itu. Sampai tepat disebuah caffe, Arif pun menghentikan motornya. “kita mau makan disini?”tanya Wirda. “kenapa sih loe selalu nanya hal-hal yang udah jelas ada di depan mata?”balas Arif sinis. “kok loe jadi marah-marah sih?,”. “udah nanya nya? Sekarang mendingan kita masuk,”usul Arif. Wirda tidak banyak komentar lagi, yang ia lakukan hanya menurut dan mengikuti langkah pria yang kini menuntunnya.

“Loe mau pesan apa?,”tanya Arif membuka buku menu. Wirda yang masih bingung hanya mampu menjawab seadanya, “air putih,”. Mendengar jawaban Wirda barusan, Arif pun tertawa. “air putih? Gue ngajak loe jauh-jauh kesini dan loe cuma pesan air putih? Loe kenapa sih Wir, lagi sakit?”tanyanya. “kok loe sih yang nanya kenapa? Ada juga gue yang nanya, kenapa tadi loe marah-marah sama gue.. dan sekarang ketawa-tawa gak jelas?,”pungkas Wirda. “iya sorry sorry… tadi itu gue cuma lagi laper aja makanya mendadak emosi gue naik. Tapi beneran kok gue gak kenapa-napa,”jelas Arif dengan seulas senyum tulus yang mengembang dibibir tipisnya. “yee aneh dasar loe, lain kali kalo loe ngerjain gue kayak tadi, abis loe sama gue,”ancam gadis itu dengan memasang wajah bete. “ya ampun… gitu aja ngambek,”ledek Arif. “gara-gara loe gue jadi ninggalin Risky gitu aja,”. Mendengar nama Risky yang Wirda sebut barusan, dalam sekejap raut wajah Arif kembali cemberut. “yaudah gak usah kebanyakan ngomongin orang. Sekarang loe mau makan apa, cepetan gue udah mau pingsan nih belom makan dari pagi,”ujar Arif. “lebay loe! Yaudah samain aja kayak pesanan loe,”jawab Wirda menyamakan. “yee kenapa bukan bilang dari tadi.. tau gitu gue gak usah nungguin,”. “ckckck sorry. Gue lagi laper juga soalnya, makanya agak-agak nggak connect,”.

 

JANGAN TANYA MENGAPA! (Part 03)

 [ Kelas ]

            “Tumben loe pagi-pagi gini udah dateng?,”kata Wirda yang baru saja sampai sambil meletakkan tas dimejanya. “semalem gue gak bisa tidur,”sahut Arif dengan wajah lesu. “gak bisa tidur? emangnya kenapa?,”tanya Wirda penasaran. “gak apa-apa,”balasnya singkat. “aissshhh,”Wirda berdecak kesal. “oya rif, gue pinjem buku catetan loe dong,”. “ambil aja sendiri diloker gue,”. Usai mendapat persetujuan dari pemiliknya Wirda pun bergegas menuju loker. Namun setelah ia membuka loker itu, matanya membulat sempurna begitu melihat sebuah kotak persegi empat berwarna biru.

“rif,”panggil Wirda tanpa menoleh. “ada apa?,”sahutnya malas. “Arifff,”panggil Wirda sekali lagi. “apaan sih?,”kali ini Arif mulai sewot. “sini, coba liat loker loe!” perintahnya. “apaan si nih anak, ganggu gue aja!” walaupun malas tapi Arif tetap menurutinya. “coba loe liat,”ucap Wirda menunjukkan kotak itu kepada Arif. “kotak apaan nih?kotak amal?,”tanyanya heran. “ihh bukan.. itu kayaknya hadiah gitu deh,”seru Wirda yakin. “hadiah?,”sahut Arif. “atau jangan-jangan… dari Secret Admirer loe,”gumam Wirda berpendapat. “masa iya, gue gak pernah dapet kado kayak gini sebelumnya.”. Tak lama kemudian seorang siswi memasuki kelas. “Arif, happy birthday yah,”kata siswi itu yang ternyata adalah Sindy. “loe lagi ultah?,”tanya Wirda terkejut. Sedangkan Arif tidak mengindahkan pertanyaan Wirda barusan, ia justru kembali ketempat duduknya semula. “rif, gue nanya serius. Loe beneran ultah hari ini?,”. Arif mendengus kesal. “loe bisa diam gak! Gue tuh heran banget yah sama loe, kenapa sih loe selalu nanya hal-hal yang udah jelas kayak gitu?!”. Wirda mengerutkan kening menatap heran Arif yang kini mulai emosi. “kenapa loe jadi sering marah kayak gini? Apa loe selalu lapar tiap kali gue nanya sesuatu sama loe?” seru Wirda kemudian pergi meninggalkan kelas. Sementara Arif hanya mampu menatap punggungnya yang mulai hilang dibalik pintu.

Wirda yang baru saja keluar kelas melewati kelasnya Risky, tak sengaja melihat teman-teman sekelasnya tengah bersorak sorai menyanyikan lagu happy birthday. Karna rasa penasarannya, Wirda pun melangkah untuk mendekat. “Met ultah ya Risky... sorry nih kita cuma bisa ngasih ini,”ucap salah satu siswi sambil memberikan sebuah kue ulang tahun berukuran sedang. “gak apa-apa. Harusnya kalian gak usah repot-repot kayak gini. Gue jadi gak enak, apalagi gue murid baru disini,”ucap Risky. “ohh… jadi Risky juga hari ini ulang tahun,”Gumam Wirda dalam hati. Tanpa sengaja Risky melihat Wirda yang tengah berdiri di depan kelas. Ia pun beranjak untuk menghampiri.

“Wirda?,”panggil Risky yang mampu membuatnya terkejut. “loe ngapain berdiri disini? Mendingan sekarang loe masuk,”. “ah gak usah ris, gue cuma gak sengaja lewat aja kok. Oya ris, hari ini loe ulang tahun yah?,”tanya Wirda. “iya,”balasnya singkat. “selamat ulang tahun yah, sorry gue telat ngucapin. Habisnya gue baru tau kalo loe ulang tahun hari ini juga,”ucap Wirda sedikit menyesal. Mendengar ucapan Wirda yang mengatakan bahwa ia baru tau soal ulang tahunnya, Risky pun sedikit kecewa.

“Jadi, kado itu bukan buat gue.”ucapnya dalam hati. “iya gak apa-apa kok. Oya, jadi gimana soal kado yang kemaren pengen loe kasih keseseorang? Udah diterima sama dia?,”. Wirda menunduk sambil menggeleng. “gak ris, kayaknya dia gak suka sama kado yang gue kasih,”sahutnya lesu. “kok bisa? Emangnya dia ngomong apa sama loe?,”Risky menunggu jawaban dari gadis itu. “buktinya dia gak ngebuka kadonya, yang ada dia malah marah-marah sama gue,”jelas Wirda dengan senyum pahit dibibirnya. Risky sedikit mendengus, “udaaahhh gak usah loe pikirin. Mendingan sekarang loe ikut gue,”ajaknya. “ikut kemana?,”. “kekantin,” sahut pria itu.

Dari beberapa jenis makanan yang tersedia dimeja kantin, tak ada satupun yang disentuh oleh gadis itu. “loe lagi gak laper atau gak nafsu makan?,”tanya Risky heran. “gue udah sarapan tadi waktu dirumah,”. “terus sekarang apa yang harus gue lakuin sama semua makanan ini?,”. Wirda mencibir, “loe kan kurus… jadi loe harus abisin semuanya biar agak gemukan.”. Melihat senyum yang mengembang dibibir gadis itu Risky pun ikut tertawa.

[ Keesokkan Harinya ]

            “Ris, bisa ketemuan gak?gue tunggu ditaman belakang sekolah,”Itulah kata-kata yang dikirimnya lewat pesan. Tanpa menunggu balasan lagi, gadis itu pun berlari keluar kelas meninggalkan handphone yang tergeletak di atas meja. Tak lama kepergiannya, ia pun mendapatkan sebuah pesan masuk . Namun telat, gadis itu kini telah berada di taman sekolah. Untung ada Arif yang baru saja datang dan langsung mengamankan handphone itu. Melihat sebuah pesan dihandphone nya, Arif pun membuka pesan itu. “sorry Wir, hari ini gue dateng telat.”. Usai membaca pesan tersebut, Arif segera menyusul ketaman sekolah.

            Wirda, gadis yang tengah menunggu kehadiran Risky. Mungkin sudah 10 menit yang lalu, tapi masih belum ada tanda-tanda kedatangan nya. “loe bodoh yah?,”kata-kata itu membuatnya terkejut hingga menoleh kebelakang untuk mengetahui siapa orang itu. “apa maksud loe?,”tanyanya balik begitu mengetahui kalau ternyata orang itu adalah Arif. Kini pria itu ikut duduk disampingnya. “loe kesini dan ninggalin handphone dikelas gitu aja, untung gue dateng coba kalo nggak!”. “dari mana loe tau kalo gue ada disini?,”tanya Wirda sambil merebut handphone nya dari tangan Arif. “sebaiknya loe kembali kekelas. Karna dia gak akan kesini,”tutur pria itu tanpa menatap lawan bicaranya. “kenapa tiba-tiba loe jadi ngatur gue? Lagian gue yakin kok kalo dia pasti dateng.”. “loe tuh keras kepala banget yah. Emangnya ada perlu apa loe sama dia? Sampe ketemuan disini segala!”ucap Arif ketus. Wirda tidak menjawab. Arif mendengus kesal, belum sempat ia berkata tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah kotak berukuran sedang ditangan gadis itu. “ohh gue tau, loe pasti mau ngasihin itu kan ke dia? Buat apa?,”tanya Arif dengan nada sesantai mungkin.

“kemarin dia ulang tahun, dan gue belom sempat ngasih dia kado,”sahut Wirda tanpa menatapnya. “loe sempet-sempetnya nyariin dia kado meskipun ulang tahunnya udah lewat. Sedangkan ulang tahun gue loe gak inget sama sekali,”bentak Arif. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria itu Wirda pun bangkit berdiri.

“Apa maksud loe gue gak inget itu semua? Loe pikir kotak warna biru yang kemaren gue taro diloker loe itu dari siapa, hah?,”geram Wirda yang sengaja meninggikan suaranya. “ma-maksud loe?,”Arif semakin bingung dengan perkataan gadis itu. “Kemarin gue sengaja pura-pura minjem buku catatan loe dan manggil loe buat ngeliat langsung isi kotak itu. Tapi ternyata, apa yang loe lakuin? Loe malah marah-marah gak jelas sama gue.”. Dalam sekejap ucapan Wirda membuat Arif terpaku bahkan terdiam tanpa kata. Karna ia pikir Sindy lah yang memberikan kado itu. Secara dialah gadis yang pertama kali mengucapkan happy birthday kepadanya. “Jadi, yang loe maksud Secret Admirer itu loe sendiri?,”ucap Arif yang baru saja sadar. Wirda tidak menjawab sepertinya ia masih belum bisa terima kalau Arif sering membentaknya selama ini. “jawab Wir, apa benar kalo gadis kotak biru itu elo?,”tanya Arif memastikan. “gue rasa tindakan gue yang kemarin itu salah. Emang gak seharusnya gue ngelakuin hal memalukan kayak gitu. Secret Admirer, harusnya bukan itu kata yang tepat. Tapi ‘Stubborn Girl’. Karna omongan loe benar, kalo gue ini gadis keras kepala,” itulah kata-kata yang ia lontarkan sebelum pergi meninggalkan Arif yang bungkam seribu bahasa.

            Dikelas yang masih terlihat sepi, Risky menghampiri Wirda yang tengah menangis. Melihat kedatangan pria itu, secepat mungkin Wirda menghapus air matanya. “Apa yang terjadi? Kenapa loe nangis?,”tanya pria itu yang tampak cemas. “loe abis dari mana aja? Gue nungguin loe dari tadi ditaman sekolah,”ujar Wirda yang jelas-jelas tengah berbohong. Risky menatap dalam mata gadis itu, mencari kebenaran disana. “jadi, loe nangis gara-gara kelamaan nungguin gue?,”tanyanya pelan. “emangnya loe pikir apa?” ujar Wirda. “gue mau minta maaf sama loe, karna hari ini gue datengnya telat.”. “yaudah lupain. Lagi juga gue gak ada urusan kok sama loe!”ucap gadis itu membuang muka. “itu ditangan loe apa?,”tanya Risky sambil menatap kotak yang tengah dipegang Wirda. “i-ini…” belum sempat Wirda menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja pria itu merebut kotak tersebut kemudian dibuka, “apa ini kado buat gue?,”. Sebuah buku bersampul hijau dengan judul ‘Daun yang jatuh tak pernah membenci angin’ dan juga buku ‘hujan’ yang kemarin ia pinjamkan. Gadis itu mengangguk pelan.

            “Thanks atas kadonya,”tutur Risky kemudian melangkah pergi. Namun belum sampai 5 langkah tiba-tiba saja ia berbalik menatap Wirda, “lain kali jangan pernah pake nama Secret Admirer. Karna gak semua orang bisa pahamin itu,” itulah kalimat yang ia ucapkan sebelum akhirnya benar-benar pergi. Wirda, gadis itu sangat terkejut mengapa Risky bisa tau semuanya. Atau jangan-jangan… dia ada disaat ia tengah bertengkar dengan Arif?.

[ Keesokkan harinya ]

            Arif sengaja datang lebih pagi hari ini, tentu saja untuk melihat langsung isi kotak itu. Sebuah kotak berwarna biru, yang sempat membuatnya salah paham. Dibuka nya perlahan dan sangat berhati-hati. Sebuah jam tangan digital berwarna hitam coklat yang terlihat menawan. “Jadi ini yang dia lakuin buat gue? Gue gak nyangka kalo dia benar-benar perduli. Apa tingkah gue selama bikin dia kecewa? Gue emang bukan cowok yang peka.”rutuknya dalam hati.

            Wirda, gadis itu berjalan menuju kelas. Hingga sampai diambang pintu, langkahnya terhenti melihat Arif tengah menatapnya intens. Berlagak sok acuh, itulah yang saat ini Wirda lakukan. Sebisa mungkin ia menahan ekspresinya agar tidak salah tingkah. Ia berjalan menuju kursi duduknya dan hendak melangkah pergi dengan meninggalkan tas. Namun tangan kanan Arif mencegahnya. “Jawab dengan jujur. Apa loe suka sama gue?,” pertanyaan yang Arif lontarkan lebih terdengar seperti pernyataan. “lepasin tangan loe dari tangan gue,”Seru Wirda terdengar ketus. “gue mau tau, apa alasan loe ngasih jam tangan ini buat gue?,” dihadapan Wirda, Arif menunjukkan jam tangan itu.

 


 

            “Gak ada alasan buat gue ngejelasin semuanya sama loe,” sahut Wirda. “tentu aja ada. Setiap orang yang mengagumi orang lain, pasti punya alasan sendiri kenapa dia bisa mengaguminya.”. Sepertinya saat ini lidahnya kelu, gadis itu masih diam dengan seribu pertanyaan dikepalanya. “gue cuma mau denger kata-kata itu keluar dari mulut loe sendiri.” Sambung Arif dengan tatapan memohon. Wirda menghela nafas kemudian menghembuskannya perlahan. “iya, gue suka sama sifat loe yang terbuka. Gue suka sama cara loe yang memperlakukan gue seenaknya. Gue suka tiap kali loe marah-marah gak jelas sama gue, meskipun itu bikin kesal. Gue suka akan kepintaran loe. Yang jelas, gue gak pernah bisa berenti ngucapin kata suka terhadap loe.”. “kalo loe emang suka sama gue, tolong jangan datang dan pergi seenaknya… Karna gue gak mau ada banyak Secret Admirer lagi yang ngejar-ngejar gue.” Gumam Arif disertai dengan kekehan. “pede banget sih loe jadi orang. Kalo bukan gue, mana ada cewek lain yang mau sama loe. Emosional kayak gitu,”. “loe gak tau aja kenapa sikap gue selalu berubah-ubah kayak gitu. Karna gue suka kesel tiap liat loe dideketin sama anak baru itu.”. “jadi loe cemburu…”ledek Wirda. “bukan cemburu. Tapi lebih ke khawatir. Karna cewek kayak loe itu gak banyak didunia ini.”. “maksud loe, gue cewek yang kayak gimana?,”tanya Wirda mengerutkan dahi. “cewek yang mau aja dimarah-marahin sama orang lain. Wkwkwk”. Mendengar pengakuan Arif barusan, Wirda pun melayangkan satu pukulan ke kepalanya. Kini kedua insan itupun kembali dekat seperti sedia kala.

 

END

 

 

Karangan         : Sinta Bela

Judul               : Jangan Tanya Mengapa

E-mail              : S.bela100@yahoo.com

Blog                : Starnightbloggeradreass.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar