Senja
yang menjadi saksi cinta kita
Dalam hidup memang tak selamanya bahagia, hidup itu ibarat
gelombang air laut, kadang pasang kadang surut. Dan terkadang juga kita harus
merasakan yang namanya asam manis kehidupan. Begitulah yang saat ini dirasakan oleh
gadis bernama Kenanga, ia dilahirkan dalam keadaan cacat fisik. Sejak lahir ia
belum pernah menatap yang namanya warna-warni dunia, karna kedua mata yang tak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Bahkan dokter yang saat itu menangani proses persalinan
Ibunya pun, tidak mengetahui apa penyebab dari semua itu. Kedua orang tuanya
hanya dapat pasrah menerima cobaan yang diberikan Tuhan terhadap mereka.
Seiring berjalannya waktu, Kenanga tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang
cantik, dan juga baik. Kini usianya sudah 19 tahun, beberapa tahun yang lalu
ayahnya meninggal karena mengalami serangan jantung. Hingga sampai saat ini
ibunya lah yang selalu menemani serta membimbing Kenanga, walau hanya seorang
diri tetapi ia tetap sabar dan berbesar hati menerima sikap anaknya yang setiap
saat selalu merutuki dirinya sendiri. Sejujurnya orang tua ingin sekali
memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya, apapun akan dilakukan oleh mereka
meski nyawa taruhannya.
Begitulah yang saat ini tengah dirasakan oleh Bu Lia, namun apa
yang dapat dilakukan oleh janda ber-anak satu itu? Sebagai seorang kuli cuci, tidak
banyak pendapatan yang ia hasilkan. Keuangannya hanya dapat ia gunakan untuk
menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Sampai suatu ketika, ada seorang pria
pendatang baru yang tinggal disamping rumah mereka. Pria itu bernama Rava, ia
hanya tinggal sendiri sedangkan kedua orang tuanya tinggal diluar negeri karena
kesibukan bisnis mereka. Awalnya Rava merasa heran, mengapa tiap kali ia sedang
bersantai dirumah selalu saja terdengar teriakkan seorang gadis. Rasa penasaran
hinggap dibenaknya, ia ingin sekali mendatangi rumah itu untuk sekedar menanyakan
apa yang sebenarnya terjadi, mengapa dari rumahnya selalu terdengar jeritan
seorang gadis?, sepertinya gadis itu sedang putus asa. Namun niat itu
diurungkan, ia takut kalau pertanyaannya nanti hanya membuahkan kekesalan
karena sikap Rava yang ingin tahu mengenai masalah dalam keluarga itu.
Pagi itu Rava sedang berjalan-jalan disekitar rumahnya,
untuk sekedar menghirup udara pagi. Namun tak sengaja matanya menangkap
kediaman seorang gadis, ia rasa gadis itulah sumber dari suara yang tempo hari
ia dengar. Dari jarak beberapa meter ia memandangi gadis itu dengan tatapan
yang intens. Sejenak Rava terdiam dan berfikir, mengapa gadis itu diam saja? Ia
bahkan tidak berniat sama sekali untuk menggubrisnya. Sepertinya ada yang
janggal… Rava melangkahkan kakinya untuk mendekati Kenanga. Hanya tinggal
beberapa langkah lagi ia sampai dihadapan gadis itu, namun langkahnya terhenti ketika
Kenanga mulai membuka mulut dan bertanya ..
“Siapa kau?,“ suaranya memecah keheningan. “Aneh sekali, gadis
itu sedang berbicara denganku atau siapa? Jika benar, lalu kenapa ia menatap
kearah lain“ batin Rava. Kedua bola matanya tak henti-hentinya mengedarkan
pandangan kesekeliling, tetapi tidak ada satupun orang selain mereka berdua,
hanya ada pepohonan rimbun yang menambah kesejukan dipagi hari. Kini ia sadar,
ternyata gadis itu memang sedang berbicara dengannya.
“Aku... aku Rava, tetangga yang tinggal disebelah rumahmu.
Apa yang sedang kau lakukan?,“ Ucap Rava balik bertanya dengan mata yang masih
menatap lurus kearah Kenanga. “Pergi! pergi kau dari sini!!,“ Ssirnya sambil
mengayunkan sebuah tongkat yang sedang digenggamnya. Beruntung saat itu Rava
cepat menghindar, sehingga tongkat itu meleset. “Aku bukan orang jahat, aku
hanya ingin bertanya, apa kau gadis yang tempo hari berteriak?,“. Mendengar kata-kata
yang keluar dari mulut Rava, Kenanga menghentikan aktivitasnya. “Untuk apa kau
ikut campur, cepat pergi dari siniii!!!“ Usir Kenanga untuk yang kedua kalinya
dengan sedikit penekanan diakhir kalimat. Akibat teriakan Kenanga yang
terdengar nyaring, sehingga membuat
ibunya lari keluar dengan tergesa-gesa .
Sesampainya sang ibu diluar, suasana berubah hening. Sesekali
ia menatap Kenanga lalu sesaat kemudian membuang pandangannya kearah Rava.
Diwajahnya tergurat rasa khawatir sekaligus bingung, seolah-olah meminta
penjelasan. “Gawat… kenapa ibunya juga keluar, melihat anaknya saja sudah seseram
itu, bagaimana dengan ibunya???“ Batin Rava yang mulai gelisah. Namun
penilaiannya terhadap bu Lia 100% salah, Bu Lia justru meminta ma’af kepada Rava
atas perilaku anaknya itu. Ia bahkan sempat bercerita mengenai keadaan yang
menimpa Kenanga, sesaat kemudian Rava memasang wajah pilu mendengar cerita itu.
Dengan langkah gontai Rava memasuki kamarnya, Kepalanya
mendongak menatap langit-langit sambil membaringkan tubuhnya diatas ranjang
yang berukuran king size. Usai mendengar cerita Bu Lia tadi, membuat hati Rava
tersentuh. Sungguh berat cobaan yang menimpanya. Semenjak itu pula ia jadi lebih
sering mengunjungi rumah Bu Lia untuk mempererat tali silaturahmi, namun faktor
utama yang mendorongnya adalah Kenanga.
Sepertinya ia mulai
menaruh hati terhadap gadis itu, meski tak jarang pula ia mendapat tolakan
mentah dari Kenanga tiap kali ia ingin membantunya untuk menyusuri jalan dan melakukan
aktivitas lainnya. Kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah kalimat, “Cinta
tak akan hadir tanpa adanya pertemuan, juga tak akan bersemi tanpa adanya perhatian
karena dari pertemuan dan juga perhatian itulah awal cinta berkembang“. Itulah
perumpamaan yang disandingkan untuk sepasang insan yang mulai merasakan
benih-benih cinta. Berkat ketulusan serta kesabaran yang diberikan oleh Rava,
sehingga membuat hati Kenanga perlahan mulai luluh. Rava membimbingnya dengan
penuh kesabaran, mulai dari membantu Kenanga untuk mengontrol emosi, sampai
menasehatinya.
Sore
itu puluhan burung tengah mengepakkan sayapnya, melintasi langit senja yang
mulai tampak keorange-orangenan. Semilir angin berbisik lirih, seolah menyampaikan
maksud tertentu kepada dua pasang insan yang tengah duduk dihalaman rumah.
Entah mengapa sore itu menjadi hari terpanjang bagi mereka, mungkin karena Rava
telah menyampaikan perasaannya terhadap Kenanga. Dan tanpa pikir panjang lagi,
Kenanga pun langsung menerima Rava menjadi kekasihnya. Namun belum lama
hubungan mereka berlangsung, tiba-tiba saja dokter memvonis Rava bahwa ia
menderita sirosis hati. Tentu saja Rava
tidak membiarkan kabar itu sampai ketelinga Kenanga. Jika itu sampai terjadi,
mungkin saja Kenanga akan kembali seperti dulu, tidak dapat mengontrol
emosinya.
Hari demi hari mereka
lewati bersama, namun senja kali ini tampak berbeda dengan senja-senja sebelumnya.
Jika senja sebelumnya mereka menatap puluhan burung melintasi langit, tapi kini
justru tidak ada satu ekor pun burung yang terbang bahkan hinggap didahan.
Dalam seketika cuaca berubah menjadi gelap, Rava berniat untuk mengantarkan Kenanga
masuk kerumahnya dan setelah itu ia kembali pulang.
Malam harinya Rava
menerima telefon masuk dari Kenanga. Setelah menyimak apa yang baru saja
disampaikan olehnya, ia tersenyum senang. Karena Kenanga bilang... dua hari
lagi ia akan menjalani operasi mata, dan tentunya bukan hanya itu yang
membuatnya senang. Tetapi Kenanga juga bilang kalau ada orang yang ingin
mendonorkan kedua matanya, bahkan orang itu juga yang akan menanggung biaya
operasi. Dalam beberapa detik kemudian cairan bening mulai mengalir dari
matanya, disatu sisi ia merasa senang karena sebentar lagi Kenanga dapat
melihat indahnya dunia, namun disisi lain hatinya tergores luka yang amat
mendalam. Karena orang yang baru saja diceritakan oleh Kenanga itu adalah
dirinya. Ya, Ravalah yang akan mendonorkan kedua matanya untuk Kenanga. Dokter
bilang usia Rava tidak akan lama lagi, cepat atau lambat ia akan meninggal
dunia. Sementara kedua orang tuanya yang berada diluar negeri hanya sekedar
mengetahuinya lewat pesan sms yang dikirimkan Rava, dan mereka pun baru akan
tiba dijakarta esok lusa.
2 hari sudah berlalu,
sejak sepulangnya Rava kemarin sore dari rumah Kenanga, ia sudah tak lagi
menunjukkan batang hidungnya. Hari ini merupakan hari yang paling mendebarkan
bagi Kenanga dan juga ibunya, hanya tinggal hitungan menit saja Kenanga akan
menjalani operasi. Namun hatinya tak tenang menunggu kehadiran Rava yang hingga
saat ini belum juga tiba dirumah sakit. Beberapa jam operasi berlangsung. Alhasil,
operasi itu berjalan dengan lancar, kini Kenanga sudah diperbolehkan pulang. Sepulangnya
Kenanga dari rumah sakit, ia langsung menuju rumah Rava yang diantar oleh
ibunya. Belum sempat mereka memasuki rumah itu, bendera kuning sudah lebih dulu
menyambutnya. Tanpa pikir panjang, mereka segera memasuki rumah Rava yang ternyata
sudah banyak orang tengah menangisi sebujur mayat yang terbaring kaku, dengan
sehelai kain yang menutupinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dengan langkah ragu dan
segenap keberanian yang ia miliki, perlahan ia membuka sehelai kain yang
menutupi wajah mayat itu. Kenanga bertanya kepada ibunya, ”Apa dia adalah Rava,
orang yang kutunggu kedatangannya sejak kemarin?”. “Iya... dia adalah Rava,“
Jawab sang Ibu yang seketika membuat Kenanga terguncang. Orang yang ditunggunya
sejak kemarin dirumah sakit, ternyata kini sudah terbaring kaku. Kenanga tak
kuasa lagi menahan sesak dihatinya, air mata yang sedari tadi tertahan
dipelupuk mata kini menyeruak keluar. Belum reda Kenanga menangis, selembar
surat sudah terulur dari tangan Ibu Rava. Perlahan ia membuka surat itu, ”Kenanga...
tetaplah engkau menjadi bunga kenangaku yang cantik, aku tak ingin lagi ada
kesedihan dalam dirimu. Jika kau merindukanku, maka ingatlah senja... karna
senja yang mempersatukan cinta kita“.
END
Cerpen karangan : Sinta Bela
Facebook : Sinta BelLa
Twitter
: Sintabela82@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar