Translate

Kamis, 03 November 2016

Senja yang menjadi saksi cinta kita


Senja yang menjadi saksi cinta kita

 

Dalam hidup memang tak selamanya bahagia, hidup itu ibarat gelombang air laut, kadang pasang kadang surut. Dan terkadang juga kita harus merasakan yang namanya asam manis kehidupan. Begitulah yang saat ini dirasakan oleh gadis bernama Kenanga, ia dilahirkan dalam keadaan cacat fisik. Sejak lahir ia belum pernah menatap yang namanya warna-warni dunia, karna kedua mata yang tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Bahkan dokter yang saat itu menangani proses persalinan Ibunya pun, tidak mengetahui apa penyebab dari semua itu. Kedua orang tuanya hanya dapat pasrah menerima cobaan yang diberikan Tuhan terhadap mereka. Seiring berjalannya waktu, Kenanga tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang cantik, dan juga baik. Kini usianya sudah 19 tahun, beberapa tahun yang lalu ayahnya meninggal karena mengalami serangan jantung. Hingga sampai saat ini ibunya lah yang selalu menemani serta membimbing Kenanga, walau hanya seorang diri tetapi ia tetap sabar dan berbesar hati menerima sikap anaknya yang setiap saat selalu merutuki dirinya sendiri. Sejujurnya orang tua ingin sekali memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya, apapun akan dilakukan oleh mereka meski nyawa taruhannya.

Begitulah yang saat ini tengah dirasakan oleh Bu Lia, namun apa yang dapat dilakukan oleh janda ber-anak satu itu? Sebagai seorang kuli cuci, tidak banyak pendapatan yang ia hasilkan. Keuangannya hanya dapat ia gunakan untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Sampai suatu ketika, ada seorang pria pendatang baru yang tinggal disamping rumah mereka. Pria itu bernama Rava, ia hanya tinggal sendiri sedangkan kedua orang tuanya tinggal diluar negeri karena kesibukan bisnis mereka. Awalnya Rava merasa heran, mengapa tiap kali ia sedang bersantai dirumah selalu saja terdengar teriakkan seorang gadis. Rasa penasaran hinggap dibenaknya, ia ingin sekali mendatangi rumah itu untuk sekedar menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa dari rumahnya selalu terdengar jeritan seorang gadis?, sepertinya gadis itu sedang putus asa. Namun niat itu diurungkan, ia takut kalau pertanyaannya nanti hanya membuahkan kekesalan karena sikap Rava yang ingin tahu mengenai masalah dalam keluarga itu.

Pagi itu Rava sedang berjalan-jalan disekitar rumahnya, untuk sekedar menghirup udara pagi. Namun tak sengaja matanya menangkap kediaman seorang gadis, ia rasa gadis itulah sumber dari suara yang tempo hari ia dengar. Dari jarak beberapa meter ia memandangi gadis itu dengan tatapan yang intens. Sejenak Rava terdiam dan berfikir, mengapa gadis itu diam saja? Ia bahkan tidak berniat sama sekali untuk menggubrisnya. Sepertinya ada yang janggal… Rava melangkahkan kakinya untuk mendekati Kenanga. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia sampai dihadapan gadis itu, namun langkahnya terhenti ketika Kenanga mulai membuka mulut dan bertanya ..

“Siapa kau?,“ suaranya memecah keheningan. “Aneh sekali, gadis itu sedang berbicara denganku atau siapa? Jika benar, lalu kenapa ia menatap kearah lain“ batin Rava. Kedua bola matanya tak henti-hentinya mengedarkan pandangan kesekeliling, tetapi tidak ada satupun orang selain mereka berdua, hanya ada pepohonan rimbun yang menambah kesejukan dipagi hari. Kini ia sadar, ternyata gadis itu memang sedang berbicara dengannya.

“Aku... aku Rava, tetangga yang tinggal disebelah rumahmu. Apa yang sedang kau lakukan?,“ Ucap Rava balik bertanya dengan mata yang masih menatap lurus kearah Kenanga. “Pergi! pergi kau dari sini!!,“ Ssirnya sambil mengayunkan sebuah tongkat yang sedang digenggamnya. Beruntung saat itu Rava cepat menghindar, sehingga tongkat itu meleset. “Aku bukan orang jahat, aku hanya ingin bertanya, apa kau gadis yang tempo hari berteriak?,“. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Rava, Kenanga menghentikan aktivitasnya. “Untuk apa kau ikut campur, cepat pergi dari siniii!!!“ Usir Kenanga untuk yang kedua kalinya dengan sedikit penekanan diakhir kalimat. Akibat teriakan Kenanga yang terdengar nyaring,  sehingga membuat ibunya lari keluar dengan tergesa-gesa .

Sesampainya sang ibu diluar, suasana berubah hening. Sesekali ia menatap Kenanga lalu sesaat kemudian membuang pandangannya kearah Rava. Diwajahnya tergurat rasa khawatir sekaligus bingung, seolah-olah meminta penjelasan. “Gawat… kenapa ibunya juga keluar, melihat anaknya saja sudah seseram itu, bagaimana dengan ibunya???“ Batin Rava yang mulai gelisah. Namun penilaiannya terhadap bu Lia 100% salah, Bu Lia justru meminta ma’af kepada Rava atas perilaku anaknya itu. Ia bahkan sempat bercerita mengenai keadaan yang menimpa Kenanga, sesaat kemudian Rava memasang wajah pilu mendengar cerita itu.

Dengan langkah gontai Rava memasuki kamarnya, Kepalanya mendongak menatap langit-langit sambil membaringkan tubuhnya diatas ranjang yang berukuran king size. Usai mendengar cerita Bu Lia tadi, membuat hati Rava tersentuh. Sungguh berat cobaan yang menimpanya. Semenjak itu pula ia jadi lebih sering mengunjungi rumah Bu Lia untuk mempererat tali silaturahmi, namun faktor utama yang mendorongnya adalah Kenanga.

Sepertinya ia mulai menaruh hati terhadap gadis itu, meski tak jarang pula ia mendapat tolakan mentah dari Kenanga tiap kali ia ingin membantunya untuk menyusuri jalan dan melakukan aktivitas lainnya. Kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah kalimat, “Cinta tak akan hadir tanpa adanya pertemuan, juga tak akan bersemi tanpa adanya perhatian karena dari pertemuan dan juga perhatian itulah awal cinta berkembang“. Itulah perumpamaan yang disandingkan untuk sepasang insan yang mulai merasakan benih-benih cinta. Berkat ketulusan serta kesabaran yang diberikan oleh Rava, sehingga membuat hati Kenanga perlahan mulai luluh. Rava membimbingnya dengan penuh kesabaran, mulai dari membantu Kenanga untuk mengontrol emosi, sampai menasehatinya.

            Sore itu puluhan burung tengah mengepakkan sayapnya, melintasi langit senja yang mulai tampak keorange-orangenan. Semilir angin berbisik lirih, seolah menyampaikan maksud tertentu kepada dua pasang insan yang tengah duduk dihalaman rumah. Entah mengapa sore itu menjadi hari terpanjang bagi mereka, mungkin karena Rava telah menyampaikan perasaannya terhadap Kenanga. Dan tanpa pikir panjang lagi, Kenanga pun langsung menerima Rava menjadi kekasihnya. Namun belum lama hubungan mereka berlangsung, tiba-tiba saja dokter memvonis Rava bahwa ia menderita sirosis hati. Tentu saja Rava tidak membiarkan kabar itu sampai ketelinga Kenanga. Jika itu sampai terjadi, mungkin saja Kenanga akan kembali seperti dulu, tidak dapat mengontrol emosinya.

Hari demi hari mereka lewati bersama, namun senja kali ini tampak berbeda dengan senja-senja sebelumnya. Jika senja sebelumnya mereka menatap puluhan burung melintasi langit, tapi kini justru tidak ada satu ekor pun burung yang terbang bahkan hinggap didahan. Dalam seketika cuaca berubah menjadi gelap, Rava berniat untuk mengantarkan Kenanga masuk kerumahnya dan setelah itu ia kembali pulang.

Malam harinya Rava menerima telefon masuk dari Kenanga. Setelah menyimak apa yang baru saja disampaikan olehnya, ia tersenyum senang. Karena Kenanga bilang... dua hari lagi ia akan menjalani operasi mata, dan tentunya bukan hanya itu yang membuatnya senang. Tetapi Kenanga juga bilang kalau ada orang yang ingin mendonorkan kedua matanya, bahkan orang itu juga yang akan menanggung biaya operasi. Dalam beberapa detik kemudian cairan bening mulai mengalir dari matanya, disatu sisi ia merasa senang karena sebentar lagi Kenanga dapat melihat indahnya dunia, namun disisi lain hatinya tergores luka yang amat mendalam. Karena orang yang baru saja diceritakan oleh Kenanga itu adalah dirinya. Ya, Ravalah yang akan mendonorkan kedua matanya untuk Kenanga. Dokter bilang usia Rava tidak akan lama lagi, cepat atau lambat ia akan meninggal dunia. Sementara kedua orang tuanya yang berada diluar negeri hanya sekedar mengetahuinya lewat pesan sms yang dikirimkan Rava, dan mereka pun baru akan tiba dijakarta esok lusa.

2 hari sudah berlalu, sejak sepulangnya Rava kemarin sore dari rumah Kenanga, ia sudah tak lagi menunjukkan batang hidungnya. Hari ini merupakan hari yang paling mendebarkan bagi Kenanga dan juga ibunya, hanya tinggal hitungan menit saja Kenanga akan menjalani operasi. Namun hatinya tak tenang menunggu kehadiran Rava yang hingga saat ini belum juga tiba dirumah sakit. Beberapa jam operasi berlangsung. Alhasil, operasi itu berjalan dengan lancar, kini Kenanga sudah diperbolehkan pulang. Sepulangnya Kenanga dari rumah sakit, ia langsung menuju rumah Rava yang diantar oleh ibunya. Belum sempat mereka memasuki rumah itu, bendera kuning sudah lebih dulu menyambutnya. Tanpa pikir panjang, mereka segera memasuki rumah Rava yang ternyata sudah banyak orang tengah menangisi sebujur mayat yang terbaring kaku, dengan sehelai kain yang menutupinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Dengan langkah ragu dan segenap keberanian yang ia miliki, perlahan ia membuka sehelai kain yang menutupi wajah mayat itu. Kenanga bertanya kepada ibunya, ”Apa dia adalah Rava, orang yang kutunggu kedatangannya sejak kemarin?”. “Iya... dia adalah Rava,“ Jawab sang Ibu yang seketika membuat Kenanga terguncang. Orang yang ditunggunya sejak kemarin dirumah sakit, ternyata kini sudah terbaring kaku. Kenanga tak kuasa lagi menahan sesak dihatinya, air mata yang sedari tadi tertahan dipelupuk mata kini menyeruak keluar. Belum reda Kenanga menangis, selembar surat sudah terulur dari tangan Ibu Rava. Perlahan ia membuka surat itu, ”Kenanga... tetaplah engkau menjadi bunga kenangaku yang cantik, aku tak ingin lagi ada kesedihan dalam dirimu. Jika kau merindukanku, maka ingatlah senja... karna senja yang mempersatukan cinta kita“.

 

END

 

Cerpen karangan : Sinta Bela

Facebook : Sinta BelLa




Tidak ada komentar:

Posting Komentar