Translate

Kamis, 03 November 2016

Ma’afkan Aku Ayah






Ayah memang bukan orang yang telah melahirkan kita tapi ayah jugalah yang mempunyai peran terpenting dalam sebuah keluarga. Bagaimana tidak, jika setiap hari ia harus membanting tulang hanya untuk menghidupi keluarga, bahkan ia juga rela bermandi keringat dibawah terik matahari tanpa mengeluh sedikitpun. Ayah selalu berusaha menutupi rasa lelahnya, itu semua ia lakukan karena ingin melihat anak dan istrinya tersenyum atas hasil jerih payah yang ia dapatkan selama ini. Pernahkah terlintas difikiran kalian, bahwa begitu besar peran sang ayah dalam kehidupan kita? Ya, mungkin salah satu diantara kalian mengerti seberapa lelahnya ia berjuang melawan rintangan hidup. Namun tak jarang pula diantara kalian yang masih menyia-nyiakan perjuangan sang ayah. Begitupun dengan gadis bernama Melati, ia tinggal bersama seorang ayah yang kini menjadi tulang punggung satu-satunya karena sang ibu telah lama meninggal dunia.

Saat matahari terbit dari ufuk timur disambut gembira oleh kicauan burung dan semilir angin yang berhembus menambah kesejukan dipagi itu. Terlihat seorang pria paruh baya tengah mengayuh becaknya dengan penuh semangat meski usianya sudah tak muda lagi, tetapi ia masih sanggup mengantar penumpang ketempat tujuan. Walau sesekali ia harus turun untuk mendorong becaknya ketika menemui jalan yang menanjak. Terlukis jelas rasa lelah diwajahnya, keringat yang tadinya hanya menetes satu atau dua kali kini sudah semakin banyak.

Suatu ketika Melati pulang sekolah dengan wajah murung, melihat keanehan yang ditunjukan anaknya itu, Pak Kardi merasa khawatir dan langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Melati, kamu kenapa? “tanyanya lembut. Melati sama sekali tak menjawab, ia bahkan enggan untuk menatap wajah ayahnya.“Melati.. apa kamu mendengarkan ayah?“ tanyanya sekali lagi. “Ayah !! ayah tidak usah pura-pura perhatian sama aku“ sentaknya yang membuat hati sang ayah sedih.“Apa maksud kamu, ayah sama sekali tidak mengerti ?”. ”Sekarang aku yang bertanya sama ayah, apa ayah sayang sama aku ?!”ucap Melati menegaskan. ”Kamu ini bicara apa, ya jelas ayah sayang sama kamu..”. “kalau ayah memang sayang sama aku, kapan ayah mau bayar SPP bulananku...?”. Mendengar penjelasan Melati barusan, Pak Kardi diam sejenak menimbang-nimbang apa yang harus ia katakan, sebelum akhirnya membuka mulut, “ Ayah minta ma’af, tapi ayah belum punya uang untuk bayar SPP kamu..”. “Belum punya uang? Itu terus yang ayah katakan. Sampai kapan yah.. sampai kapan aku dipermalukan didepan teman-teman aku?! “. “Ayah harus bagaimana lagi, pendapatan ayah hanya cukup untuk makan kita sehari-hari. Mungkin kamu harus lebih bersabar..”. ”Sabar lagi sabar lagi! Ayah bicara seperti itu karena ayah tidak tau bagaimana perasaan aku selama ini. Pokoknya kalau besok ayah belum mendapatkan uang juga, aku akan berhenti sekolah!!!” ancamnya sebelum bergegas memasuki kamar. Dengan perasaan sedih sekaligus bingung, Pak Kardi mendorong becaknya kembali dan mengurungkan niatnya untuk beristirahat, sementara Melati kini tengah sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan kepesta ulang tahun temannya. Terik matahari yang menyengat kulitnya sudah tak diperdulikan lagi. Pak Kardi masih saja memikirkan ucapan anaknya tadi, harus dengan cara apalagi ia mencari uang. Kini matanya fokus pada satu objek, dilihatnya seorang gadis tengah membawa tas dan berjalan mendekatinya. Tak disangka-sangka ide buruk Pak Kardi muncul, ia berniat untuk mencopet tas gadis itu tanpa memperhatikan keadaan sekitar yang cukup ramai. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Pak Kardi berlari menghindari kejaran warga.

Dari arah yang berlawanan 5 orang gadis tengah memperhatikan aksi Pak Kardi yang berakhir sia-sia, Pak Kardi berhasil ditangkap dan dipukuli hingga babak belur. Ke 4 gadis itu hanya menatap biasa saja karena mereka pikir jaman sekarang sudah tak heran bila seorang copet berkeliaran ditempat ramai. Namun tidak bagi Melati, matanya membulat seketika begitu melihat ternyata pencopet itu adalah ayahnya. Ia segera berlari untuk menghentikan aktivitas warga yang terus saja memukuli Pak Kardi tanpa ampun.

“ Hentika!!! Dia ayahku,“ teriak Melati hingga membuat warga menghentikan aktivitasnya. Melati menatap wajah ayahnya yang penuh dengan luka, matanya tak kuasa menahan tangis. Dengan mata sayu Pak Kardi berkata kepada anaknya, “Ma’afkan ayah Melati… ayah sudah membuatmu malu.. ini semua ayah lakukan karena ayah tidak mau kamu berhenti sekolah. Kamu pasti malukan punya orang tua seperti ayah… ?“. ” Tidak ayah… Melati tidak malu punya orang tua seperti ayah, tapi kenapa ayah melakukan ini?”.

” Ayah sayaang… sekali sama Melati, cuma Melati yang ayah punya didunia ini. Mungkin usia ayah tidak akan lama lagi, ayah harap kamu mau mema’afkan ayah”. ” Tidak ayah.. bukan ayah yang salah, tapi aku yang salah… ayah tidak boleh bicara seperti itu, ayah harus kuat” ucap Melati disela-sela tangisnya. “Ma’afkan ayah Melati… ayah tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk kamu, ayah tidak bisa membahagiakanmu”.

“ Ayah salah.. ayahlah sumber kebahagiaan aku, ayah tidak boleh tinggalin aku…”.

” Ayah harap, jika ayah sudah tidak ada nanti… kamu tidak akan melupakan ayah. Ayah sayang kamu Melati…”. Kata-katanya semakin terdengar samar, matanya sudah tak lagi terbuka. “Ayah…?Yah.. ayah bangun yah!“ ucap Melati sambil mengguncang tubuh ayahnya, berharap sang ayah akan bangun kembali. Namun sia-sia Pak Kardi sudah menghembuskan nafas terakhirnya. “ Ayah jangan tinggalin aku yah… aku sayang ayah.. cuma ayah yang aku punya. Ayah ma’afin Melati yah…“ tangisnya memecah, kini sudah tidak ada lagi figur seorang ayah dalam hidup Melati, hanya kesepian yang selalu hinggap dihatinya.

Andaikan ia dapat mengerti atas ucapan ayahnya saat itu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Kini nasi sudah menjadi bubur, apapun yang kita rencanakan didunia ini semuanya atas kehendak Tuhan. Mungkin dari situ kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa jodoh, rezeki, maut, semuanya menjadi rahasia Tuhan. Maka dari itu sayangi dan cintailah orang tua kalian sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri.

 

~ END ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar