Ayah memang bukan orang
yang telah melahirkan kita tapi ayah jugalah yang mempunyai peran terpenting
dalam sebuah keluarga. Bagaimana tidak, jika setiap hari ia harus membanting
tulang hanya untuk menghidupi keluarga, bahkan ia juga rela bermandi keringat
dibawah terik matahari tanpa mengeluh sedikitpun. Ayah selalu berusaha menutupi
rasa lelahnya, itu semua ia lakukan karena ingin melihat anak dan istrinya
tersenyum atas hasil jerih payah yang ia dapatkan selama ini. Pernahkah terlintas
difikiran kalian, bahwa begitu besar peran sang ayah dalam kehidupan kita? Ya,
mungkin salah satu diantara kalian mengerti seberapa lelahnya ia berjuang
melawan rintangan hidup. Namun tak jarang pula diantara kalian yang masih menyia-nyiakan
perjuangan sang ayah. Begitupun dengan gadis bernama Melati, ia tinggal bersama
seorang ayah yang kini menjadi tulang punggung satu-satunya karena sang ibu
telah lama meninggal dunia.
Saat matahari terbit
dari ufuk timur disambut gembira oleh kicauan burung dan semilir angin yang
berhembus menambah kesejukan dipagi itu. Terlihat seorang pria paruh baya tengah
mengayuh becaknya dengan penuh semangat meski usianya sudah tak muda lagi, tetapi
ia masih sanggup mengantar penumpang ketempat tujuan. Walau sesekali ia harus
turun untuk mendorong becaknya ketika menemui jalan yang menanjak. Terlukis
jelas rasa lelah diwajahnya, keringat yang tadinya hanya menetes satu atau dua
kali kini sudah semakin banyak.
Suatu ketika Melati
pulang sekolah dengan wajah murung, melihat keanehan yang ditunjukan anaknya
itu, Pak Kardi merasa khawatir dan langsung menanyakan apa yang sebenarnya
terjadi.
“Melati, kamu kenapa?
“tanyanya lembut. Melati sama sekali tak menjawab, ia bahkan enggan untuk
menatap wajah ayahnya.“Melati.. apa kamu mendengarkan ayah?“ tanyanya sekali
lagi. “Ayah !! ayah tidak usah pura-pura perhatian sama aku“ sentaknya yang
membuat hati sang ayah sedih.“Apa maksud kamu, ayah sama sekali tidak mengerti
?”. ”Sekarang aku yang bertanya sama ayah, apa ayah sayang sama aku ?!”ucap Melati
menegaskan. ”Kamu ini bicara apa, ya jelas ayah sayang sama kamu..”. “kalau
ayah memang sayang sama aku, kapan ayah mau bayar SPP bulananku...?”. Mendengar
penjelasan Melati barusan, Pak Kardi diam sejenak menimbang-nimbang apa yang
harus ia katakan, sebelum akhirnya membuka mulut, “ Ayah minta ma’af, tapi ayah
belum punya uang untuk bayar SPP kamu..”. “Belum punya uang? Itu terus yang
ayah katakan. Sampai kapan yah.. sampai kapan aku dipermalukan didepan
teman-teman aku?! “. “Ayah harus bagaimana lagi, pendapatan ayah hanya cukup
untuk makan kita sehari-hari. Mungkin kamu harus lebih bersabar..”. ”Sabar lagi
sabar lagi! Ayah bicara seperti itu karena ayah tidak tau bagaimana perasaan
aku selama ini. Pokoknya kalau besok ayah belum mendapatkan uang juga, aku akan
berhenti sekolah!!!” ancamnya sebelum bergegas memasuki kamar. Dengan perasaan sedih
sekaligus bingung, Pak Kardi mendorong becaknya kembali dan mengurungkan
niatnya untuk beristirahat, sementara Melati kini tengah sibuk memilih pakaian
yang akan ia kenakan kepesta ulang tahun temannya. Terik matahari yang
menyengat kulitnya sudah tak diperdulikan lagi. Pak Kardi masih saja memikirkan
ucapan anaknya tadi, harus dengan cara apalagi ia mencari uang. Kini matanya fokus
pada satu objek, dilihatnya seorang gadis tengah membawa tas dan berjalan
mendekatinya. Tak disangka-sangka ide buruk Pak Kardi muncul, ia berniat untuk
mencopet tas gadis itu tanpa memperhatikan keadaan sekitar yang cukup ramai.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Pak Kardi berlari menghindari kejaran warga.
Dari arah yang
berlawanan 5 orang gadis tengah memperhatikan aksi Pak Kardi yang berakhir
sia-sia, Pak Kardi berhasil ditangkap dan dipukuli hingga babak belur. Ke 4
gadis itu hanya menatap biasa saja karena mereka pikir jaman sekarang sudah tak
heran bila seorang copet berkeliaran ditempat ramai. Namun tidak bagi Melati,
matanya membulat seketika begitu melihat ternyata pencopet itu adalah ayahnya.
Ia segera berlari untuk menghentikan aktivitas warga yang terus saja memukuli
Pak Kardi tanpa ampun.
“ Hentika!!! Dia
ayahku,“ teriak Melati hingga membuat warga menghentikan aktivitasnya. Melati
menatap wajah ayahnya yang penuh dengan luka, matanya tak kuasa menahan tangis.
Dengan mata sayu Pak Kardi berkata kepada anaknya, “Ma’afkan ayah Melati… ayah
sudah membuatmu malu.. ini semua ayah lakukan karena ayah tidak mau kamu
berhenti sekolah. Kamu pasti malukan punya orang tua seperti ayah… ?“. ” Tidak
ayah… Melati tidak malu punya orang tua seperti ayah, tapi kenapa ayah melakukan
ini?”.
” Ayah sayaang… sekali sama
Melati, cuma Melati yang ayah punya didunia ini. Mungkin usia ayah tidak akan
lama lagi, ayah harap kamu mau mema’afkan ayah”. ” Tidak ayah.. bukan ayah yang
salah, tapi aku yang salah… ayah tidak boleh bicara seperti itu, ayah harus
kuat” ucap Melati disela-sela tangisnya. “Ma’afkan ayah Melati… ayah tidak bisa
menjadi orang tua yang baik untuk kamu, ayah tidak bisa membahagiakanmu”.
“ Ayah salah.. ayahlah
sumber kebahagiaan aku, ayah tidak boleh tinggalin aku…”.
” Ayah harap, jika ayah sudah tidak ada
nanti… kamu tidak akan melupakan ayah. Ayah sayang kamu Melati…”. Kata-katanya
semakin terdengar samar, matanya sudah tak lagi terbuka. “Ayah…?Yah.. ayah
bangun yah!“ ucap Melati sambil mengguncang tubuh ayahnya, berharap sang ayah
akan bangun kembali. Namun sia-sia Pak Kardi sudah menghembuskan nafas
terakhirnya. “ Ayah jangan tinggalin aku yah… aku sayang ayah.. cuma ayah yang
aku punya. Ayah ma’afin Melati yah…“ tangisnya memecah, kini sudah tidak ada
lagi figur seorang ayah dalam hidup Melati, hanya kesepian yang selalu hinggap
dihatinya.
Andaikan ia dapat
mengerti atas ucapan ayahnya saat itu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti
ini. Kini nasi sudah menjadi bubur, apapun yang kita rencanakan didunia ini
semuanya atas kehendak Tuhan. Mungkin dari situ kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa jodoh, rezeki, maut, semuanya menjadi rahasia Tuhan. Maka
dari itu sayangi dan cintailah orang tua kalian sebagaimana kalian mencintai
diri kalian sendiri.
~ END ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar